Pendahuluan
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri” (ar-Ra’d: 11)
Ayat ini
menunjukan perubahan atas keadaan masyarakat, bukan individu. Hal ini dengan
memperhatikan lafadz “qaum, yugayyiru ma
bi angfusihim” yang menunjukan bentuk jama dalam artian sekolompok individu
atau masyarakat. Hanya saja perubahan masyarakat tentu harus dimulai dari
individu dengan berusaha mengubah pemahamannya menjadi pemahaman Islam kemudian
memunculkan perasaan kejamaahan yang terintegrsi dengan kuat, kemudian melebur
ke tengah-tengah masyarakat untuk mengubah pemahaman-pemahaman yang rusak dan
mendeklarsikan ideologi yang telah mengkristal pada dirinya ke tengah-tengah
umat. Untuk itu bagi pengemban dakwah yang telah mendapatkan petunjuk berupa
pemahaman metode syar’i dalam mengubah masyarakat yang tidak Islami menuju
masyarakat Islami, adalah dengan mengubah pemahaman-pemahaman (mafahim)-nya menuju pemahaman Islam. Salah satu pemahaman keliru yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat adalah pemahaman terhadap istilah HAM.
Pembahasan
Lahirnya
berbagai istilah asing tentu membawa maksud dan makna yang dipengaruhi oleh
pandangan hidup tertentu.
Hal ini bagi muslim sejati harus mengkaji secara mendalam setiap
istilah-istilah asing tersebut, baru kemudian mencampakannya dengan
argumentatif yang terbangun dari aqidah Islam. Fokus pada tulisan ini yaitu fakta
HAM dalam demokrasi untuk menghantam Islam dan penganutnya.
Munculnya
Pemikiran Hak Asasi Manusia
Pemikiran hak
asasi manusia muncul di Eropa pada abad 17 M sebagai akibat pergolakan antara
gerejawan dan agamawan dengan para cendekiawan dan filosof. Filosof Jonh locke
menyeru hak-hak alamiah[1]
bagi setiap individu yang diambil dari hukum alam.[2] Yaitu
hukum yang diambil dari tabiat manusia dan dirumuskan berdasarkan realita
dasariah manusia, yaitu naluri-naluri dan kebutuhan jasamani.
Setelah
berlangsungnya pergolakan diantara dua kubu, maka kaum cendekiawan dan filosof
mendapatkan kemenangan atas gerejawan. Kemudian dirumuskanlah pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme), dengan
melahirkan mazhab politik baru yaitu ideologi kapitalisme dengan pemikiran hak
asasi manusianya yang menonjol.
Dari ideologi
tersebut, untuk mempertahankan hak-hak alamiah bagi individu maka secara
otomatis melahirkan tiga asas:[3]
Pertama: sesunggunya
hak-hak alamiah bagi setiap individu telah mendahului berdirinya negara.[4]Sehingga
berdirinya suatu negara adalah sebagai penanggungjawab dalam memuliakan hak-hak
alamiah manusia dan kebebasan individu.[5]
Kedua: apabila terjadi
kontradiksi antara kekuasaan negara dengan kebebasan individu, maka
kemaslahatan kebebasan individu harus tetap dipelihara, karna tujuan berdirinya
negara adalah memelihara kebebasan individu.
Ketiga: kebebasan
individu sebagai asas politik negara mengharuskan membatasi kekuasaan negara
dengan undang-undang demi untuk menjaga kebebasan individu dan mencega negara
dalam berbuat lalim dalam membatasi kebebasan individu.
Hal
ini bagi mereka, nilai luhur yang hendak dijunjung tinggi adalah kebahagian jasmani, dalam arti manusia
dapat menikmati sepuas-sepuasnya kenikmatan jasmani dalam hidupnya, dengan
memberikannya kebebasan. Sedangkan Negara dalam hal ini hanyalah wasilah untuk
memelihara kebebasan tersebut. Sehingga kedaulatan tetap berada di tangan
rakyat.
Berdasarkan tiga
asas tersebut para pengemban ideologi kapitalis berusaha menjauhkan
undang-undang Tuhan yang mengikat kebebasan individu, dengan menggantinya
dengan UU yang bersandar pada akal dan realita/pragmatis. Kemudian hak-hak
indivudu tersebut menjadi populer dengan penamaan HAM (hak asasi manusia).
Pada tahun 1776
M Amerika Serikat dalam Deklarasi Kemerdekaannya
mengumandangkan hak asasi manusia,[6] serta
dikomandangkan oleh revolusi perancis. Kemudian tersebar ke berbagai negara
Dunia pasca PD II melalui lembaga PBB, yaitu lembaga yang diorbitkan untuk memelihara
kemaslahatan pemikiran tersebut. Setelah itu, dibuatlah perjanjian
internasional yang mengajak memelihara hak asasi manusia dengan memusatkan pada
pemeliharaan empat kebebasan yaitu kebebasan berakidah, kebebasan kepemilikan,
kebabasan berprilaku dan kebebasan berpendapat, sebagaimana dalam pidato
Franklin D. Roosevelt di Depan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pada 6
Januari 1941.[7]
Islam dan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Sesunggunya
istilah hak asasi manusia adalah istilah kapitalisme yang penunjukannya
mengikuti sudut pandang tertentu, yaitu akidah
pemisahan agama dari kehidupan (sekuler). Dari asas tersebut telah terjadi
kontradiktif dengan akidah dan pemikiran Islam. Karna sesunggunya maksud dan
tujuan dari istilah ini
adalah memberikan kebebasan kepada individu untuk menentukan haknya dengan
bersandar kepada realita, yaitu naluri-naluri dan kebutuhan jasmani, dan kepada
akalnya. Sehinggah secara otomatis manusia menjadi hamba bagi naluri-naluri dan
kebutuhan jasmaninya.
Sedangkan dalam
pandangan syara’ nilai luhur pada
manusia dan masyrakat berasal dari Allah SWT., berupa pelaksanaan
suatu perintah dan menjauhi larangan-Nya yang tidak akan pernah berubah di
setiap zaman. Hal ini mengindikasikan
ketidaksempurnaan manusia dalam mengatur kehidupannya, karna ia sebagai ciptaan
atau makhluq yang terbatas. Maka sebagai Pencipta, Ia telah menetapkan
hukum-hukum untuk mengatur naluri-naluri dan kebutuhan jasmani untuk mewujudkan nilai-nilai luhur pada diri manusia.
Maka untuk memelihara nilai-nilai luhur tersebut dibuatlah sanksi yang keras
berupa hukuman hudud, qishas dan ta’zir. Pemeliharaan nilai-nilai luhur
ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan karna merupakan perintah
Allah Swt., dan bukan untuk meraih nilai materi, sebagaimana ideology kapitalis
dan sosialis.
Bukan rahasia
umum lagi bagi negara-negara yang mengemban panji hak asasi manusia, itu hanyalah
semboyan busuk tampa realitas. Hal ini dapat dibuktikan bagi negara-negara yang
mengemban panji hak asasi manusia, itu terbiasa melakukan diskriminasi warna
kulit[8],
serta melakukan imprealis untuk menguasai bangsa-bangsa lain, dan negara-negara
yang berkuasa dan berperan dalam percaturan politik dunia adalah negara-negara
yang memiliki andil untuk memutuskan negara A atau B telah melanggar hak asasi
manusia, lalu negara tersebut diembargo, bahkan sampai dihancurkan.
Contohnya,
Amerika telah menggempur Irak dan mengimbargonya dengan dalih bahwa Irak telah
merusak hak-hak Syi’ah dan suku Kurdi. Pada satu sisi Amerika diam tidak
menggempur orang-orang Serbia yang brutal merampas hak-hak kaum Muslimin
Bosnia.[9]
Akan halnya kekejaman yang dilakukan oleh ekstrimis Budha terhadap Muslim
Rohingya, Kaman, dan Muslim lainnya. Ini hanyalah sedikit air bah dari tindakan
orang-orang yang mengaku memelihara hak asasi manusia di dunia. Namn semuanya itu
merupakan strategi busuk negara-negara Barat untuk mempercantik sistem mereka
dihadapan negara-negara jajahanya.
Dengan demikian ide hak asasi manusia
adalah ide kapitalisme imprialis yang tidak memiliki relasi dengan ide-ide
Islam, hal ini karna ide tersebut terbangun dari aqidah pemisahan agama dari
kehidupan dengan menjadikan kedaulatan di tangan rakyat dan mengganti
kedaulatan di tangan syara’.
Adapun
kebebasan-kebebasan yang menjadi titik tolak dari pemikiran hak asasi manusia
sesunggunya sangat jauh dari realita manusia dan penerapanya secara rill, karna
manusia diciptakan bersamaan dengan naluri serta kebutuhan jasmaninya.
Sedangkan berbagai naluri dan kebutuhan jasmani menuntut pemenuhan yang benar
dengan sebuah sistem yang menjamin tidak adanya pelecehan terhadap hak-hak
manusia dalam interaksinya. Interaksi manusia dalam kehidupannya membutuhkan
sebuah sistem yang mendetail dalam menyelesaiakan perbedaan-perbedaan individu
manusia dalam berbagai naluri dan kebutuhan jasmaninya. Sistem tersebut tidak
datang kecuali dari Allah pencipta manusia. Sedangkan membiarkan manusia
memenuhi kebutuhannya, baik naluri dan kebutuhan jasmani dengan kehendaknya,
tampa adanya sistem yang mengatur maka yang demikian itu akan mendatangkan
anarkhi dan berbahaya terhadap individu-individu.
Hak-Hak Syar’i Manusia dalam Islam
Islam telah
datang membawa sistem menyeluruh dan sempurna yang mengatur seluruh aktivitas
manusia yang dibutuhkan untuk pemenuhan berbagai naluri dan kebutuhan
jasmaninya dengan pemenuhan yang benar dan sesuai dengan fitrahnya sebagai
seorang individu serta sebagai bagian dari masyarakt Islam. Untuk itu para
fuqaha telah merumuskan hak-hak syar’i bagi manusia sebagai bukti bahwa Islam
adalah rahmatan lil ‘alamin, dimana hak-hak syar’i tersebut melahirkan tiga
macam kemaslahatan yaitu:
1.
Dhoruuriyaat (hal-hal
yang menjadi keharusan)
2.
Hajiyaat
(kebutuhan-kebutuhan)
3.
Tahsiinat
(perbaikan-perbaikan)
Dhoruuriyaat
(hal-hal yang menjadi keharusan) adalah kemaslahatan-kemaslahatan yang harus
diwujudkan dalam kehidupan individu dan demi tegaknya masyarakat yang baik dan
luhur. Sebaliknya jika kemaslahatan-kemaslahatan tersebut tidak ada dalam kanca
kehidupan individu dan masyarakat, maka sistem hidup akan kacau dan manusia
hidup secara anarki dan rusak. Kemaslahatan tersebut sebagaimana As-Syaithibi
dalam kitabnya al-Muwafaqat merumuskan
enam kemaslahatan, kemudian di sempurnakan oleh Syekh
Taqiyuddin an-Nabhani[10]
menjadi delapan kemaslahatan:
1.
Menjaga agama (hifdh ad-din)
2.
Menjaga jiwa (hifdh an-nafs)
3.
Menjaga akal (hifdh al-‘aql)
4.
Menjaga keturunan (hifdh
al-mal)
5.
Menjaga harta
benda (hafdh an-nas)
6.
Menjaga
kehormatan (hifdh al-karamah)
7.
Menjaga keamanan
(hifdh al-‘aml)
8.
Menjaga Negara (hifdh ad-ddaulah)
Hajiyaat,
adapun kebutuhan-kebutuhan adalah perkara-perkara yang dibutuhkan oleh manusia
untuk menghilangkan kesulitan dari mereka dan untuk meringankan beban hidupnya
yang berat. Misalnya dalam masalah ibadah, bahwa Islam memubahkan bagi musafir
atau orang sakit untuk berbuka pada bulan Ramdhan dan membolehkan orang yang
tidak mampu berdiri dalam menunaikan shalat untuk duduk dan seterusnya. Dalam
masalah makanan, Islam telah meringankan keadaan orang yang terpaksa untuk
memakan sesuatu yang diharamkan Allah Swt.
Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøxC uöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ
Maka barang siapa
terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah : 3)
Dalam
sangksi Islam, lahir kaidah “Hudud itu bisa
ditolak dengan syubuhat”.
Tahsiinat,
adapun perbaikan-perbaikan merupakan kumpulan perkara yang mengindahkan pelaksanaan hokum yang
sesuai dengan etika-etika yang luhur. Maka dalam urusan ibadah islam telah mengsyariatkan
bersuci. Dalam muamalah, Islam mengharamkan penipuan dan penghianatan dan Islam
mendorong sikap toleransi dan amanah. Dalam peperangan Islam melarang membunuh
sesorang yang tidak ikut berperang, seperti para petani dan buruh. Dalam
sanksi, Islam mengharamkan penyikasaan dalam proses intrograsi. Dalam masalah
etika, Islam menuntut sifat jujur, ifah (menjauhi
hal-hal yang tidak bermanfaat) dan amanah, dan melarang dusta, ucapan yang
jorok dan khianat.
Untuk
itu kebutuhan-kenutuhan dan perbaikan-perbaikan menjadi indicator dalam
menyempurnakan hal-hal yang menjadi keharusan untuk melahirkan kehidupan dan
lingkungan yang aman, mulia dan terhormat.
[2] Menurut Locke, keadaan alamiah sebuah masyarakat manusia adalah
situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak
yang sama. Dalam keadaan ini, setiap manusia bebas menentukan dirinya dan menggunakan
apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada kehendak orang lain. Meskipun
masing-masing orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak terjadi kekacauan
karena masing-masing orang hidup berdasarkan ketentuan hukum kodrat yang
diberikan oleh Tuhan. Yang dimaksud hukum kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah
larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik
orang lain. Dengan demikian, Locke menyebut ada hak-hak dasariah yang terikat
di dalam kodrat setiap manusia dan merupakan pemberian Allah.
Kunjungi
https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke
[3] Muhammad Husain Abdullah, Mafahim
Islamiyyah. Darul Bayariq, 1996. hal. 189
[4] Dalam artian Hak alamiah yang dimiliki manusia adalah yang
diperoleh dan dibawa bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam
kehidupan masyarakat, sehingga mendahului negara.
[5] Ini merupakan pemikiran Plato, bahwa negara itu didirikan oleh individu-individu
yang membentuk suatu kelompok masyarakat karena adanya kebutuhan yang beraneka
ragam.
[6] Dimana Thomas
Jefferson
sebagai persiden ke 3 Amerika
Serikat dalam Deklarasi
Kemerdekaannya mengajukan
filosofi bahwa hak asasi manusia melekat pada semua orang, menegaskan bahwa
" semua orang diciptakan sederajat, bahwa mereka dikaruniai oleh
Penciptanya dengan Hak-hak yang tidak dapat disangkal, dan bahwa di antara
hak-hak itu adalah Kehidupan, Kemerdekaan, dan upaya mengejar
Kebahagiaan." Kunjungi: https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia_di_Amerika_Serikat
[7] pidato yang dibacakan Franklin D. Roosevelt di Depan Dewan Perwakilan
Rakyat Amerika Serikat pada 6 Januari 1941. Pidato tersebut menganjurkan agar
setiap manusia dijamin negara dalam empat kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beribadah
kepada Tuhan dengan cara masing-masing, hak untuk bebas dari kekurangan dan kemiskinan serta kebebasan dari ketakutan. Ide-ide yang tercantum dalam
pidato tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang berkembang menjadi Piagam Atlantik yang dinyatakan oleh Winston
Churchill dan Franklin D. Roosevelt pada Agustus 1941, Deklarasi PBB pada tanggal 1 Januari 1942 dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang
diadopsi oleh PBB pada tahun 1948. Lihat. Ichtiar Baru Van
Hoeve; Hassan Shadily. Ensiklopedia Indonesia, Jilid 7. Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve.
[8] Perlakuan rasis polisi terhadap kulit hitam menjadi bentuk
diskriminasi di AS. Berdasarkan data statistik rata-rata setiap 36 jam seorang
warga kulit hitam AS ditangkap polisi negara itu. Ditinjau dari sisi fasilitas
finansial dan kesejahteraan, warga kulit hitam menjadi warga kelas dua setelah
kulit putih. Rata-rata kekayaan sebuah keluarga kulit putih sebesar 113 ribu
dolar. Jumlah tersebut 20 kali lebih besar dari sebuah keluarga kulit hitam.
Selain itu, 25 persen kulit hitam yang berusia di bawah 25 tahun tidak
menikmati asuransi kesehatan.
[9] Pertentangan tersebut meledak menjadi kekerasan
setelah Jerman Nazi menguasai Yugoslavia tahun 1941. Selengkapnya:http://www.kompasiana.com/noorkholis_ridho/konflik-antara-bosnia-dan-serbia-pada-tahun-1991_550122fb813311fb16fa8372
0 Response to "ISTILAH HAM ADALAH ALAT UNTUK MENGHANTAM ISLAM DAN PENGANUTNYA"
Post a Comment