REVITALISASI KONSEPSI ETOS KERJA DALAM PRESFEKTIF ISLAM

Pendahuluan
Melihat kondisi masyarakat hari ini yang cenderung matrealistik dengan mengedepankan manfaat/keuntungan dan melupakan sisi halal dan haram, mengharuskan perlunya penyadaran melalui jalan pemikiran, hal ini karna manusia mengikuti pemahamannya dalam beraktivitas. Di sisi lain dari pihak pemerintah harus memfilter segala bentuk pekerjaan/aktivitas yang mengandung unsur keharaman. Karna sebuah masyarakat, sebagaimana di kemukakan oleh Dwi Condro Triono, P.hd dalam bukunya Retorika Mengguncang Dunia bahwa terwujudnya masyarakat Islami ketika berkumpulnya manusia dalam satu wilayah dan terjadi interaksi yang intens serta diikat dengan perasaan Islam, pemikiran Islam, dan aturan Islam. Maka terwujudnya suasana dan lingkungan Islam ketika perasaan, pemikiran dan aturannya Islam.

Sebagian kalangan mengaggap bahwa bekerja sebagai penghalang untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah Swt., atau dikatakan bekerja sebagai bukti kecintaan kepada dunia dan harta. Pasalnya, mereka mengasingkan diri dari dunia dengan membawa pemahamannya yang keliru terhadap kehidupan dunia. Seakan-akan bekerja dalam pandangan mereka bukan bagian dari ajaran Islam. na’uzdu billah.

Hal ini diakibatkan lemahnya pemahaman (mafhum) seorang Muslim terhadap Islam sehingga menjadi pemicu terjadinya kesalahan dalam aktivitasnya, khususnya dalam hal bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Jika di kita amati, manusia dalam aktivitasnya selalu mengikuti pemahaman (mafhum)-nya, sehingga jika pemahamannya tidak Islami perbuatanya akan berpotensi melanggar syari’ah Allah Swt. Tidak sampai di situ, umat dalam bekerja akan menjauh dari nilai-nilai etos kerja yang Islami sehingga aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhannya terpisah dari koridor Allah Swt, hilangnya aspek ruh (kesadaran dirinya dengan Allah Swt) dalam bekerja, dan melemahnya spirit untuk menjadikan pekerjaannya sebagai amal ibadah disisi Allah Swt.

Islam menuntut kita untuk menunjukkan etos kerja tidak hanya rajin, gigih, dan setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai luhur Islam yang tentunya tidak melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini  mengindikasikan adanya keimanan dalam bekerja yaitu bekerja dalam rangka menunaikan kewajiban, dan untuk menghindari diri dari meminta-minta atau mengemis, dan dalam bekerja senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntunan Allah Swt. Dengan demikian lahirlah aspek keimanan dalam bekerja dan terbentuklah nilai-nilai etos kerja yang sejalan dengan al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw.

Dalam makalah ini akan dibahas revitalisasi/reaktualisas konsepsi etos kerja dalam presfektif al-Qur’an, kajian tafsir tematik. Membahas persoalan yang cukup krusial dalam kehidupan dewasa ini, mengingat kaum muslimin pada khususnya keliru dalam memahami konsepsi bekerja dalam Islam. Di sisi lain, kurangnya kajian yang membahas persoalan ini dari sedut pandang al-Qur’an, sehingga perlu untuk dibahas.

PEMBAHASAN

Definisi Etos Kerja dalam Pandangan Islam
Istilah Etos Kerja dibentuk dari dua kata, yaitu etos dan kerja. Secara harfiah etos berasal dari bahasa yunani dengan akar kata ‘ethikos’ yang mengandung arti moral, sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu (wikipwdia;2016). Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) etos adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas seseorang atau kelompok; sikap yang mendasari lahirnyan perbuatan-perbuatan dalam pola hubungan tertentu antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya. Sedangkan dalam al-Qur’an dikenal kata ‘itqon’ yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (Qs. An-Naml : 88).

Adapun kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah aktivitas perbuatan dalam melakukan sesuatu.

Sedangkan dalam Islam, pengertian kerja amatlah luas, mencakup seluruh pengerahan potensi manusia, itu jika ditinjau secara umum. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan potensi kehidupan (at-thaqa al-hayawiyah)-nya, berupa kebutuhan jasmani (al-hajat al-udhawiyah) seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, maupun kebutuhan naluri (gharizah) seperti tuntutan untuk menikah, peningkatan taraf hidup yang lebih baik dan naik haji ke baitullah. Semuanya merupakan tuntutan yang harus dipenuhi melalui usaha dalam bekerja.

Maka dapat disimpulkan bahwa etos kerja dapat diartikan sebagai sikap mental dan kepribadian yang di miliki oleh sesorang dalam melakukan berbagai usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bagi seorang muslim paradigma etos kerja diartikan sebagai cara pandang yang diyakini bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai manifestasi dari amal shaleh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.

Dalam terminologi al-Qur’an etos kerja dapat di artikan sebagai ‘amal shaleh’ yang menjadi faktor penentu kesuksesan sesoorang, baik di dunia maupun di akherat. Allah Swt berfirman:
( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& 
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(Qs. al-Kahfi[18]:110)

Bekerja sebagai pemenuhan at-Taqah al-Hayawiyah (potensi kehidupan)
Manusia secara esensial memiliki potensi kehidupan (at-Taqah al-Hayawiyah) yang mempengaruhi aktivitas kehidupannya. Potensi yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai aktivitas. Di sisi lain, manusia yang dianugerahi potensi akal untuk memahami realitas, – yang membedakannya dengan hewan – menjadi penentu baik dan buruknya, tercela dan terpujinya perbuatan yang dilakukannya, dengan menjadikan Islam sebagai paradigmanya. Karna manusia senantiasa mengikuti pemahamannya dalam beraktivitas.

Potensi kehidupan itu adalah kebutuhan jasmani (hajat al-udhwiyah) dan naluri (gharizah). Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan mendasar yang timbul akibat struktur organ tubuh manusia. Jika kebutuhan dasar tersebut tidak dipenuhi, struktur organ tersebut akan mengalami ganguan dan bisa mengakibatkan kerusakan, sehingga pemenuhannya bersifat pasti. Adapun naluri merupakan fitrah manusia dalam mempertahankan eksistensi hidupnya, keturunan, dan mencari petunjuk mengenai keberadaan Sang pencipta. Fitrah yang penulis maksud adalah sifat dasar yang Allah Swt ciptakan pada diri manusia. Kemudian naluri terbagi menjadi tiga bagian yaitu naluri beragama (gharizah at-tadayyun), naluri melangsungkan keturunan (gharizah an-nau’) dan naluri mempertahankan diri (gharizah al-baqa’).

Dari ke dua potensi kehidupan di atas, yaitu kebutuhan jasmani (hajat al-udhwiyah) dan naluri (gharizah), semuanya memiliki perwujudan berupa aktivitas atau perbuatan;dalam artian bahwa perbuatan manusia lahir dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri tadi. Misalkan, makan, minum, tidur dan buag hajat adalah aktivitas yang lahir dalam memenuhi kebutuhan jasmani (hajat al-‘udhwiyah). Adapun naluri (gharizah) dapat diklasifikasikan perwujudannya, yaitu naluri beragama (gharizah at-tadayyun) mendorong seseorang untuk mengagungkan sesuatu (mencari keberadaan Tuhan), bahagia, takut, harap dan sedih. Sedangkan naluri melangsungkan keturunan (gharizah an-nau’) mendorong seseorang untuk menikah, melakukan hubungan seksual, tanggung jawab terhadap keluarga, cinta dengan lawan jenis, memiliki rasa ke ibuan dan ke bapaan. Adapun naluri  mempertahankan diri (gharizah al-baqa) mendorong seseorang untuk menginginkan kekuasaan/jabatan, rumah yang mewah, harta yang banyak atau perhiasan yang banyak.

Semua dorongan dari ke dua potensi kehidupan tersebut yaitu kebutuhan jasmani (hajat al-‘udhwiyah) dan naluri (gharizah), mengaruskan seseorang untuk beraktivitas/bekerja, demi terpenuhinya ke dua kebutuhan tersebut. Ada yang besifat pasti dalam pemenuhannya seperti kebutuhan jasmani (makan, minum, istirahat, buang hajat) karna ia kebutuhan mendasar/primer, dan ada yang tidak pasti dalam pemenuhannya seperti kebutuhan naluri, karna ia bukan kebutuhan mendasar, walaupun jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kegelisahan, namun ia tidak mengancam kehidupan manusia.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat kita pahami bahwa manusia secara alami melakukan berbagai aktivitas, dalam hal ini bekerja, adalah karna dorongang dari potensi kehidupannya. Untuk itulah al-Qur’an menetapkan bekerja sebagai sesuatu yang umum, terkadang al-Qur’an membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat.

Walhasil al-Qur’an tidak menetapkan bekerja sebagai aktivitas tertentu, namun al-Qur’an menetapkan prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum. Hal ini dapat kita pahami, karna segala bentuk aktivitas manusia, lahir dalam rangka memenuhi potensi kehidupannya yaitu kebutuhan jasmani dan naluri. Sehingga dapat kita simpulkan, bahwa manusia bekerja dalam memenuhi kebutuhannya, di sebabkan karna faktor manusiawi yang telah menjadi sunnatullah dalam dirinya.

Revitalisasi Konsepsi Etos Kerja dalam Presfektif al-Qur’an

Dalam kitab Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam (sistem Ekonomi Islam) oleh Syakh Taqiyuddin an-Nabhani (2005;95) bahwa dalam Islam bekerja memiliki arti yang luas, beraneka ragam jenisnya, bermacam-macam bentuknya serta berbeda-beda hasilnya. Karna itulah Asy-Syari’ (Sang Pembuat Hukum; Allah Swt) tidak membiarkan kata bekerja begitu saja bersifat umum. Namun, Asy-Syari’ telah menetapkannya melalui Rasulullah Saw., dalam bentuk kerja-kerja tertentu. Kemudian dalam menetapkannya, Asy-Syari’ menjelaskan kerja-kerja tersebut berikut jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan.

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa bekerja menjadi salah satu sebab kepemilikan individu. Kepemilikan individu yang dimaksud adalah izin dari Allah Swt., kepada individu untuk memanfaatkan dan memiliki sesuatu. Jadi seorang individu berhak memiliki harta untuk dinikmati, sebagaimana yang telah ia proleh. Maka bekerja dalam hal ini menjadi sebab kepemilikan harta atas individu. Secara prinsip, syara’ telah menetapkan jenis usaha yang bisa menjadi sebab kepemilikan, (2005;95) di antaranya: menghidupkan tanah (lahan) mati, berburu, menggali kandungan dalam perut bumi ataupun di udara, makelaran/broker, mudharabah (kerjasama usaha yang menggabungkan harta/modal dengan tenaga), musaqat (mengairi lahan pertanian) dan ijarah (kontrak kerja).

Sebagaimana kebiasaan buruk masyarakat dalam bekeja – tidak amanah, tidak jujur dan mudah putus asa dari Rahmat Allah – di sebabkan kuatnya kecendruangan duniawi/kebendaan dalam dirinya, dan tidak menjadikan daya spritual sebagai dorongan dalam bekerja sehingga ia lupa jati dirinya sebagai seorang muslim yang memiliki ajaran moral yang tinggi. Pasalnya, tidak sedikit dari mereka yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah Swt., dengan prinsip, menghalalkan segala cara.

Pada persoalan ini, Islam telah memetakan konsepsi etos kerja yang luhur, yang memiliki nilai moralitas yang tinggi, dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sikap utama yang tercermin dalam aktivitas seorang muslim. Untuk itu berikut penulis akan merevitalisasi/mereaktualisasi konsepsi etos kerja dalam Islam atau menyegarkan kembali pemahaman etos kerja dalam presfektif al-Qur’an.

Orientasi bekerja

Orientasi dalam bekerja dimaksudkan sebagai sikap yang harus di kedepankan dalam bekerja atau motivasi yang menjadi dorongan kita dalam bekerja. Dalam pemahaman yang mendalam dan teliti kita menemukan tiga dorongan/ motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan/bekerja. Pertama, motivasi materi atau kebendaan, merupakan dorongan yang lemah di akibatkan lahir dari kebutuhan jasmani dan naluri. Berarti, jika sesoorang dalam bekerja hanya di motivasi oleh materi/keuntungan semata, maka dorongan ini tergolong lemah dan mudah dipatahkan. Dengan kata lain aktivitas seorang muslim dalam bekerja tidak bernilai ibadah di sisi Allah Swt. Kedua, motivasi emosional atau psikologis, merupakan dorongan yang lahir dari kondisi emosional sesorang terhadap sesuatu.  Maka aktivitas orang tersebut dilandasi oleh dominasi perasaan yang menyelimutinya. Misalkan, sesoorang terdorong untuk bekerja akibat takut di katakan sebagai pengangguran. Maka aktivitas atas dorongan ini pun masih tergolong lemah dan tidak bernilai ibadah di sisi Allah swt. Dan ketiga, motivasi spritual yaitu motivasi yang dibangun berdasarkan prinsip printah dan larangan Allah Swt., motivasi yang lahir dari kesadaran seorang muslim karna dirinya mempunyai hubungan dengan Allah Swt. Misalkan, seorang bekerja demi keluarga dan mencegah diri dari meminta-minta adalah dorongan spritual, karna ia bekerja atas dasar tuntutan Allah dan Rasul-Nya terhadap dirinya (2012;94-96).

Untuk itulah, Islam telah menetapkan kaidah bagi seorang Muslim untuk senantiasa mengaitkan ruh dalam aktivitasnya, yaitu mengikatkan dirinya dengan hukum syara’ dalam bekerja dan menjadikan daya spritual sebagai dorongannya dalam bekerja. Ruh disini bukanlah sirrul haya’ (rahasia hidup) atau nyawa. Ruh dalam al-Qur’an memiliki makna musytarak yakni banyak, terkadang ruh jibril (Qs. Asy-Syu’araa[26]:193-194), nyawa/rahasia hidup (Qs. Al-Isra’[17]:85), dan syariah (Qs. Asy-Syura[42]:52). Namun ruh yang penulis maksudkan adalah kesadaran hubungan manusia dengan Allah Swt, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh K.H Hafidz Abdurahman dalam bukunya Mafahim Islamiyah.(2014;127)

Menjadikan dorongan spritual sebagai landasan aktivitasnya dalam bekerja merupakan hal yang pasti. Karna seorang muslim tidak hanya mencari keuntungan duniawi, namun sebagai jalan untuk meraih keuntungan ukhrawi. Inilah paradigma iman, yang menjadikan akherat sebagai jalan untuk meraih keuntungan. Sebagaimana Allah berfirman

Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (Asy Syuura [42] : 20)

M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini mengumpamakan manusia dalam bekerja bagaikan ia menanam benih. Memang kehidupan dunia diibaratkan bagaikan dengan landang tempat seseorang menanam benih. Apa yang di tanamnya adalah amal perbuatan, dan masa panen akan terjadi di akherat nanti. Hal ini dapat dipahami sebagaimana Al-Biqa’i berkomentar, bahwa karna beragama manusia memiliki hubungan timbal balik antara hamba dengan Allah. Hubungan tersebut terletak disaat manusia melakukan aktivitas penanaman benih atau kehendak untuk mendapatkan keuntungan ukhrawi. Maka terbentuklah aspek ruhiyah pada aktivitas manusia dalam bekerja.

Kemudian menggabungkan aktivitas lahiriah dengan aspek ruhiyah (kesadaran hubungan manusia dengan Allah Swt) merupakan syarat pokok menjadikan aktivitas tersebut memiliki nilai ibadah di sisi Allah Swt. Walaupun pada faktanya tujuan seorang bekerja adalah ingin mendapatkan nilai materi (keuntungan) dari pekerjaanya dan bukan nilai spritual, namun status dari aktivitasnya dalam bekerja sudah menjadi bagian dari ibadah, selama ia memiliki kecendrungan spritual yang kuat untuk mendapatkan Ridah Allah Swt., dalam bekerja dan tujuan yang hendak direalisasikan semata-mata karna tuntutan Allah Swt dalam bekerja. Di dalam al-Qur’an Allah telah mengingatkan

Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At-Taubah : 24)
Ayat ini menerangkan bahwa jika nilai spritual (mencintai Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya) bertolak belakang dengan nilai materi (perniagaan, tempat tinggal) atau bertentangan dengan nilai akhlak (menghormati orang tua, saudarah, mencintai istri dan anak-anak), maka nilai spritual tersebut wajib diutamakan daripada nilai materi dan nilai akhlak, sebagaimana penjelasan Hafidz Abdurahman dalam bukunya diskursus Islam Politik Spritual terhadap ayat di atas (2012;109)
Allah juga berfirman dalam QS. Al-Qashas [28]:77
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ  

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Sebagaimana dalam tafsir al-Muntakhab dalam menafsirkan ayat ini bahwa menjadikan sebagian dari kekayaan dan karunia yang Allah berikan kepada manusia di jalan Allah semata-mata untuk amalan kehidupan akhirat. Dan tidak mencegah diri untuk menikmati sesuatu yang telah Allah halalkan di dunia.

Senada dalam buku pilar-pilar takwa oleh Dr. A. Ilyas Ismail (2009;325) mengemukakan bahwa dalam Islam bekerja dapat dipahami sebagai wujud pengabdian sesoorang kepada Allah Swt (ibadah). Sebagaimana Muhammad Husain Abdullah (2011;114) dalam kitabnya dirasat fi al-fikri al-Islam bahwa Ibadah memiliki dua makna, yaitu ibadah secara umum dan khusus. Secara umum ibadah yaitu ketaatan kepada perintah-perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Adapun ibadah secara khusus yaitu segala bentuk perintah dan larangan syariat yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Rab-Nya.

Dengan demikian bekerja merupakan aktivitas ibadah secara umum bagi seorang muslim, selama motivasi spritual dan keterikatannya dengan syaria’at di kedepankan yaitu bekerja dengan memperhatikan sisi halal dan haramnya, bukan manfaat atau kerugian dari pekerjaan yang ia lakukan, karna hal itu merupakan paradigma kaum sekuler atau kaum kafir. Walaupun nilai materi berupa keuntungan, menjadi tujuan yang hendak di capai, namun bukan menjadi dorongan atau motivasi untuk meraih nilai tersebut.

Bekerja dengan Ihsan al-‘amal

Ihsan al-‘amal yang secara harfiah berarti berbuat baik atau bekerja dengan mutu dan kualitas terbaik (2009;326). Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, bahwa “kebaikan yang tidak terorganisir, akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisir” pemahaman (mafhum) yang terkandung dari perkataan Ali kw., bahwa bekerja asal-asalan yang tidak terorganisir dan profesional walaupun sejalan dengan norma-norma agama akan terkalahkan dengan bekerja yang terorganisir dan profesional yang tidak sesuai dengan norma-norma agama.

Ihsan al-‘amal yang secara harfiah berarti berbuat baik atau bekerja dengan mutu dan kualitas terbaik. Dalam terminologi al-Qur’an kata ihsan al-‘amal memiliki korelasi dengan misi penciptaan kematian dan kehidupan oleh Allah Swt (Qs. al-Mulk:2). Sebagaimana mafhum dalam tafsiran Jalalain ketika menafsirkan ayat tersebut, bahwa kehendak Allah Swt dalam menciptakan kematian dan kehidupan, adalah bentuk ujian kepada manusia. Dengan ujian tersebut, maka manusia akan mendapatkan penilaian dari Allah Swt., siapa yang memiliki kualitas amal yang terbaik dalam menyikapi ujian dari-Nya.

Hal ini dapat kita pahami, semakin terlatih mental seseorang melalui ujian yang dihadapinya, maka semakin profesional pula dalam bekerja. Karna manusia sebagai makhluq terbaik yang diciptakan oleh Allah Swt (Qs. At-Tiin:4), maka mengharuskan adanya ihsan atau kualitas dalam perbuatannya. Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda “Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara kalian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”) Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim)

Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw., berpapasan dengan seorang yang sedang menuju ke tempat tugasnya. Orang itu tampak energik dan penuh semangat. Langkahnya pasti dan sorot matanya tajam, penuh optimisme dan percaya diri. Lalu para sahabat bertanya, “adakah orang itu bekerja di jalan Allah” kemudian Nabi Saw., menjawab “jika ia bekerja demi keluarga atau demi memelihara diri agar terhindar dari sifat-sifat meminta-minta, maka ia berada di jalan Allah. Tapi jika ia bekerja demi popularitas atau kesombongan, ia berada di jalan setan.” (HR. Thabrani).

Dalam mengomentari hadits di atas Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Haquq al-Insan, mengemukakan bahwa Islam memberi apresiasi sangat tinggi kepada orang yang memiliki disiplin dan etos kerja yang baik, dan bahwa kerja merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari agama. Khususnya bagi kaum Adam, bahwa Islam telah menetapkan kepada kaum Adam kewajiban bekerja dalam hal ini menafkahi, terutama mereka yang telah berkeluarga sebagaimana sabda Rasulullah saw., “seorang laki-laki adalah pemelihara anggota keluargannya dan dia bertanggung-jawab atas mereka” tanggung jawab disini adalah menafkahi dan memelihara urusan-urusan keluarga (istri dan anak-anaknya), semuanya berada di pundak suami.

Adapun syarat yang harus terpenuhi dalam menggolongkan perbuatan sebagai ihsan al-‘amal, telah dirumuskan oleh Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manar, ketika menafsirkan Qs. At-Taubah[9]:105 yang artinya “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Beriman akan melihat pekerjaanmu”. Beliau mengemukakan dua poin penting yaitu pertama, meluruskan niat dan motivasi kerja. Hal ini, selain terkait dengan soal produktivitas, juga berhubungan dengan nilai pekerjaan itu sendiri. Sebagaimana dalam hadits Nabi Saw, yang sangat populer dikatakan bahwa pekerjaan seseorang dinilai dari niat atau motivasinya. (HR. Bukhari dan Muslim dalam bab Iman) dengan kata lain kerelaan hati dalam bekerja, senantiasa dinisbatkan kepada Allah Swt, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah[2]:184
,,....Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya....
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah[2]:148
Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, kebaikan lagi Maha mengetahui.
Kerelaan hati adalah bukti kesuyukuran hamba kepada Allah swt., dan Allah mensyukuri hamba-Nya: dengan kata lain, memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.
Kedua, mengoptimalkan hasil kerja dengan jalan melaksanakan pekerjaan itu sebaik mungkin dan sesempurna mungkin, yang sesuai dengan tutunan Allah dan Rasul-Nya.

Nilai dalam segala perbuatan telah ditetapkan oleh Allah Swt., baik dan buruk, tercela dan terpuji, semuanya telah menjadi urusan Allah dalam menetapkannya. Sebagaimana Allah berfirman
( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès?
,.....Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah [2]:149)

Maka nilai suatu pekerjaan – kebaikan dan keburukannya – telah menjadi ketetapan Allah Swt., karna jika sebuah nilai diberikan kepada manusia, maka akan terjadi pertentangan sesuai kondisi yang dialaminya. Untuk itulah Allah Swt, mengungkap kekeliruan manusia dalam menilai sesuatu. Terkadang apa yang ia benci, ternyata baik bagi mereka dan sebaliknya apa yang ia sukai ternyata buruk baginya. Allah berfirman
“Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”(Qs. Al-Baqarah :126)

Dengan demikian seorang yang beriman akan menjadikan ketentuan-ketentuan Allah Swt., sebagai acuan dalam bersikap dan bekerja. Melakukan aktivitas kerja yang didorong oleh daya spiritual yaitu bekerja untuk memenuhi kewajiban seruan Allah Swt, namun jalan yang ditempu bertolak belakang dengan norma-norma agama, maka Islam memandang orang tersebut telah bermaksiat kepada Allah Swt., dan amalnya tergolong sebagai amal buruk, walaupun niat karna Allah dan didorong oleh daya spritual yang tinggi. Sebaliknya amal yang sesuai dengan ketentuan Allah Swt., namun memiliki dorongan yang salah atau niat bukan karna Allah Swt., maka amalnya tidak tergolong sebagai amal ibadah, walaupun ia bekerja terikat dengan syariat Allah Swt. Sebgaiaman Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172)

Memakan makanan yang baik-baik, dalam hal ini bekerja dengan pekerjaan yang baik yaitusesuai dengan syariat Allah Swt., adalah konsekuensi dari aqidah Islam, serta menjadi syarat terwujudnya ihsan al-‘amal dalam bekerja.

Sikap dalam Bekerja

Untuk itulah dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin (2003;129) oleh Imam Al-Ghazali memberikan nasehat berupa sikap yang harus dimiliki oleh sesoorang dalam bekerja.
a.       Menamkan niat yang baik dan akidah yang kokoh dalam memulai perdagangan/bekerja.
b.      Berniat melaksanakan salah satu fardhu kifayah di dalam bekerja. Misalnya, seandainya pekerjaan-pekerjaan dan perdangan di tinggalkan, maka masyarakat akan rugi.
c.       Tidak menjadikan pasar dunia menghalangi pasar akherat. Pasar akherat adalah masjid-masjid.
d.      Selalu ingat kepada Allah meskipun sibuk dalam urusan pekerjaannya.
e.       Jangan terlau serakah dalam mencari rezki
f.       Tidak hanya mencegah sesuatu yang haram, namun hati-hati pula terhadap sesuatu yang bersifat syubhat.
g.      Hendaknya berhati-hati dalam bergaul, karna salah bergaul akan merugikan diri sendiri.

Inilah tujuh sikap yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya. Berangkat dari perkataan Imam al-Ghazali, sebagaimana telah penulis kemukakan di awal bahwa etos kerja merupakan sikap mental dan kepribadian yang di miliki oleh sesoorang dalam melakukan berbagai usaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka perkataan imam al-Ghazali perlu diperhatikan untuk membangun keshalehan sosial, disamping sebagai pesan-pesan moral, namun ia juga sebagai kaidah dalam membangun pribadi yang shaleh.

Bekerja sebagai perwujudan Tauhid sosial dalam membangun keshalehan sosial

Bagi sebagian orang, istilah tauhid sosial mungkin dirasakan aneh atau terkesan mengada-ada. Tetapi, bagi Sayyid Quthub dan Hasan Hanafi, keduanya pemikir Mesir kontemporer, tauhid sosial justru diadvokasi sebagai agenda utama yang harus dilakukan oleh setiap individu demi untuk membangun keshalehan sosial.

Menurut Sayyid Quthub dalam kitabnya fi Zhilal Al-Qur’an; di bawah naungan al-Qur’an  jilid II (1982;688-689) bahwa ajaran syahadat yang di dalamnya terkandung doktrin tauhid (tiada Tuhan selain Allah), bukanlah pengakuan yang bersifat verbal saja, tetapi merupakan komitmen yang berdampak sosial. Begitu pula Hasan Hanafi mengemukakan bahwa bertauhid berarti kita memberikan komitmen untuk menegakan dan mewujudkan keadilan sosial dan kerahmatan bagi seluru alam. Menurut Hasan Hanafi, inilah makna tauhid sosial yang terkandung dalam firman Allah Swt.
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx©  
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (al-Baqarah [2]:143)

Berangkat dari gagasan di atas, dapat kita pahami bahwa bekerja merupakan tuntutan akidah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Bekerja berarti ikut berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kehidupan yang aktif pula, serta ikut dalam tolong menolong dalam kebaikan. Sebagaimana dalam tiori ekonomi bahwa pertumbuhan dan perputaran ekonomi di tentukan oleh aktivitas manusia dalam bekeja. Maka aktivitas bekerja menajadi indikator kemajuan suatu bangsa, dan sebaliknya semakin tinggi tingkat pengangguran akan berpotensi menjadikan negara lemah.

Dalam kaitannya dengan itu, M. Qurish Shihab dalam bukunya Dia di mana-mana;tangan Tuhan Di balik Setiap penomena (2004;153), menafsirkan halaqa al-insana min ‘Alaq ayat ke dua dalam firman-Nya wahyu pertama, bahwa dalam kebahasaan kata ‘alaq antara lain berarti sesuatu yang bergantung. Dimana ketergantungan manusia kepada pihak lain dan ia tidak dapat hidup sendiri. Dengan adanya ketergantungan saling membutuhkan, maka manusia tidak dapat mengelak dari kerja sama. Maka terjalinlah hubungan yang solid, saling mengenal satu sama lain. Allah berfirman
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujarat [49]:13)

Semakin kuat pengenalan satu pihak  kepada selainya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karna itu ayat di atas menekankan perlunya saling kenal-mengenal. Dengan demikian korelasi tauhid terhadap dimensi kehidupan manusia melalui aktivitas bekerja dan mengsertakan diri ikut dalam parstisifasi aktif dalam membangun kehidupan yang dinamis, secara otomatis akan melahirkan keshalehan sosial.



Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut:

Pengertian etos kerja adalah sikap mental dan kepribadian yang di miliki oleh seseorang dalam melakukan berbagai usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam terminologi al-Qur’an etos kerja dapat di artikan sebagai ‘amal shaleh’ yang menjadi faktor penentu kesuksesan sesoorang, baik di dunia maupun di akherat. Tentunya bagi seorang muslim paradigma etos kerja diartikan sebagai cara pandang yang diyakini bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai manifestasi dari amal shaleh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.

Adapun secara internal manusia dalam melakukan berbagai aktivitas, termasuk di dalamnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, merupakan dorongan dari ke dua potensi kehidupan tersebut yaitu kebutuhan jasmani (hajat al-‘udhwiyah) dan naluri (gharizah). Dalam pemenuhannya ada yang besifat pasti, seperti kebutuhan jasmani (makan, minum, istirahat, buang hajat) karna ia kebutuhan mendasar/primer, dan ada yang tidak pasti dalam pemenuhannya seperti kebutuhan naluri, karna ia bukan kebutuhan mendasar, walaupun jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kegelisahan, namun ia tidak mengancam kehidupan manusia.

Dalam merevitalisasi konsepsi etos kerja dalam persfektif al-Qur’an penulis mengklasifikasikan menjadi beberapa pokok bahasan yaitu:
a.       Orientasi dalam bekerja dimakasudkan sebagai sikap yang harus di kedepankan dalam bekerja atau motivasi yang menjadi dorongan kita dalam bekerja. dan meotivasi yang layak bagi seorang muslim dalam melakukan aktivitas bekerja adalah dorongan spiritual. Dengan dorongan tersebut seorang muslim dalam bekeja menjadi nilai ibadah di sisi Allah Swt.
b.      Ihsan al-‘amal yang secara harfiah berarti berbuat baik atau bekerja dengan mutu dan kualitas terbaik. Dalam terminologi al-Qur’an kata ihsan al-‘amal memiliki korelasi dengan misi penciptaan kematian dan kehidupan oleh Allah Swt (Qs. al-Mulk:2). Sebagaimana mafhum dalam tafsiran Jalalain ketika menafsirkan ayat tersebut, bahwa kehendak Allah Swt dalam menciptakan kematian dan kehidupan, adalah bentuk ujian kepada manusia. Dengan ujian tersebut, maka manusia akan mendapatkan penilaian dari Allah Swt., siapa yang memiliki kualitas amal yang terbaik dalam menyikapi ujian dari-Nya.
c.       Sikap dalam bekerja, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya. Maka perkataan imam al-Ghazali perlu diperhatikan untuk membangun keshalehan sosial, disamping sebagai pesan-pesan moral, namun ia juga sebagai kaidah dalam membangun pribadi yang shaleh.
d.      Bekerja sebagai bentuk perwujudan Tauhid sosial dalam membangun keshalehan sosial merupakan bentuk pengabdian hamba kepada Allah Swt., dalam mengemplementasikan nilai-nilai tauhid yang telah mengkristal dalam dirinya dalam kehidupan sosial.
Saran

Lahirnya makalah ini tentu membawa maksud, yang tidak sekedar memenuhi tuntutan dalam perlombaan Karya Tulis Ilmiah, namun lebih dari itu. Penulis berharap tulisan ini menjadi bagian yang diridhai oleh Sang Pencipta untuk dapat menjadi referensi dalam memahami konsep etos kerja dalam presfektif al-Qur’an. Disisi lain setiap ciptaan, dan karya-tulis yang lahir dari zat yang terbatas yaitu manusia, tentu ciptaan, dan karya-tulis itu juga terbatas dan dipenuhi sisi kelemahan, sehingga atas dasar inilah penulis mengharapkan koreksi yang sifatnya membangun, untuk kemudian lebih menyempurnakan tulisan sederhana ini.

Related Posts:

1 Response to "REVITALISASI KONSEPSI ETOS KERJA DALAM PRESFEKTIF ISLAM"

  1. Lucky Club Casino site, rules & FAQ
    In the case of a license, a casino site has to have all kinds of games. There are many casino sites. You could even come across all kinds luckyclub.live of games. If you are into

    ReplyDelete