ABSTRAK
Musafir, 2015, “Bahasa dan Pikiran Sebagai Tombak Kemajuan Dalam
Pandangan al-Qur’an”
Artikel
ini membahas mengenai korelasi bahasa dan pikiran manusia dari sudut pandang al-Qur’an, yaitu menggambarkan proses berpikir pada
manusia yang tidak bisa lepas dari bahasa. Karna bahasa sebagai sarana bagi
informasi untuk mendeskripsikan objek yang diinformasikan. Sedangkan informasi
adalah salah satu syarat lahirnya proses berpikir yang rasional pada manusia.
Maka
dalam penelitian ini penulis mencoba membangun kerangka berpikir Islami dengan
menjadikan bahasa sebagai pisau analis dalam memahami teks-teks realitas
kehidupan. Disisi lain penulis mencoba membangun paradigma berpikir Islami
dengan menjadikan metode berpikir rasional sebagai metode dalam memahami
realitas. Serta mengungkap berbagai metode berpikir dewasa ini.
Dalam
penelitian membuktikan, bahasa adalah salah satu alternatif menjembatani
pemahaman terhadap realitas. Dan al-Qur’an membuktikan akan alur terjadinya
proses tersebut, yang tergambar dalam QS. Al-Baqarah [2]:32. Ketika terjadi
dialog antara Tuhan dan Adam as maka perdialokan tersebut menjadikan Adam paham
akan realitas di surga. Hal ini mengindikasikan adanya rasionalitas yang
terjadi dalam memahami teks-teks benda di surga.Dengan demikian dapat disimpulkan,
untuk membangun pikiran dengan metode rasional dalam memahami realitas, maka
mengharuskan adanya bahasa.
Pendahuluan
Berpikir
adalah bagian dari aktivitas manusia. Dalam aktivitas inilah kehidupan manusia
menjadi dinamis, sampai-sampai dikatakan – dan ungkapan ini benar – bahwa
manusia lebih utama dari pada malaikat. Keutamaan manusia ini tiada lain
terletak pada akalnya. Akal inilah yang mengangkat manusia dan sekaligus
menjadikannya mekhluk yang paling utama.Berbagai macam ilmu, seni, sastra,
filsafat, fikih (hukum), ilmu bahasa, ilmu eksakta, semuanya dipandang sebagai ilmu
pengetahuan itu sendiri, tiada lain adalah produk akal, yang konsekuensinya
merupakan produk proses berpikir. Oleh karna itu, demi kebaikan umat manusia,
kehidupan dan alam semesta, harus ada pengetahuan mengenai akal itu sendiri.
Disisi lain harus pula diketahui fakta mengenai proses berpikir dan metode
berpikir.
Realitas
membuktikan, umat manusia dalam kurun waktu yang sangat panjang ternyata lebih
menaruh perhatian pada buah akal dan buah proses berpikir dari pada memberikan
perhatian pada fakta mengenai akal dan proses berpikir.[1]Walaupun
perna ada orang-orang yang berusaha memahami fakta akal dan proses berpikir,
baik intelektual kaum Muslim dan non-Muslim. Akan tetapi, semuanya gagal dalam
memahami fakta akal itu sendiri dan gagal membangun proses berpikir yang shahih.
Masa
Yunani misalkan, umat manusia telah terdorong untuk mengetahui fakta mengenai
proses berpikir. Hasilnya mereka sampai pada apa yang disebut dengan logika (‘ilmu
mantiq) juga telah sampai pada apa yang disebut filsafat yang merupakan
bagian dari sekian banyak metodologi yang digunakan manusia dewasa ini dalam
mencari kebenaran. Filsafat (falsafah) adalah studi mendalam mengenai
apa yang ada di balik eksistensi materi (gaib, supernatural).[2]
Hal tersebut perlu diadakannya analisis bagaimana akidah Islam memandang metodologi
tersebut.
Dengan
demikian dalam kajian berikut penulis akan memaparkan studi mengenai pikiran
manusia yang tersirat dalam al-Qur’an yang menjadikan bahasa sabagai salah satu
syarat terbentuknya proses berpikir dan menciptakan metode berpikir rasional
dalam memahami realitas. Dan sedikit mengkritisi metode berpikir Yunani dengan
logikanya yang khas dengan menggunakan pisau analis akidah Islam yang bersumber
dari Allah Swt.
Pembahasan
Suatu
pemikiran erat kaitannya dengan akidah dan pandangan hidup sesoorang.[3]
Hal ini terlihat dalam sebuah peradaban manusia, dimana dikatakan suatu
peradaban jika di dalamnya terdapat sekumpulan konsep tentang kehidupan[4].
Lahirnya konsep tersebut terkadang bersumber dari wahyu dan terkadang pula dari
orang-orang yang sepakat atas konsep-konsep tersebut. Dengan demikian peradaban
(sekumpulan konsep kehidupan) yang lahir, sangat erat kaitannya dengan
pandangan hidup sesoorang bagaimana melihat realitas, menghukumi realitas,dan
membangun suatu peradaban atas konsep tersebut.
Maka
proses lahirnya suatu peradaban itu di awali dengan adanya Ideologi yang
menjadi dasar. Ideologi ini kemudian memancarkan konsep dan metode untuk
menerapkan konsep tersebut. Pengkajian terhadap konsep – digunakan untuk
membangun peradaban – bisa melalui peng-istinbath-an
(menetapkan) langsung dari agama (wahyu) dan dari buatan manusia sendiri
melalui kesepakatan. Peng-istinbath-an
suatu konsep dari Agama, maka akan melahirkan peradaban spritual ilahiyah, seperti peradaban Islam yang lahir dari akidah
Islamiyah, sedangkan suatu peradaban yang lahir atas kesepakatan dan tidak
merujuk pada konsep Agama maka peradaban tersebut adalah hasil dari pikiran manusia
dalam merumuskan konsep, seperti peradaban India dan peradaban Barat.
Dengan melihat penjelasan di atas menggambarkan
bahwa adanya aktivitas berpikir dilakukan dari pihak yang menganut akidah Islam
dan non-akidah Islam untuk melahirkan suatu konsep. Aktivitas berpikir inilah
yang kemudian menjadi objek kajian pada tulisan ini.
Analisis
Paradigma Berpikir Kaum Sosialis/Komunis
Para
pemikir sosialis/komunis (yang mengingkari eksistensi tuhan) telah berhasil
membangun sebuah definisi mengenai fakta proses berpikir, dan definisi tersebut
menghampiri kebenaran.Namun yang menjadi sebab kerusakan atau ke tidak
sumpurnaan definisi tersebut karna pengingkarannya kepada sang pencipta (al-Khaliq) alam ini. Adapun definisi
mereka mengenai proses berpikir ialah refleksi
(pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta
pemikiran, bahwa pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak,dan proses
refleksi fakta terhadap otak.[5]
Inilah pendapat mereka.
Hal
ini karna memang benar, bahwa pemikiran tidak akan terbentuk tanpa adanya
fakta. Setiap pengetahuan yang tidak ada faktanya hanyalah khayalan dan
imajinasi semata. Sedangkan otak merupakan pusat utama dan mendasar yang ada
pada diri manusia. Karnannya, sebuah pemikiran tidak akan terwujud kecuali
dengan adanya otak. Walhasil, untuk mewujudkan adanya akal, yaitu proses
berpikir, atau adanya pemikiran, haruslah ada fakta dan otak. Para pemikir
komunis telah sampai pada dua hal ini. Dan itu bisa di katakan sebagai usaha
yang serius dan benar. Yaitu mereka berhasil menyimpulkan bahwa keberadaan akal
mesti bergantung pada adanya fakta dan otak.
Sayangnya
ketika mereka berusaha mengaitkan fakta dengan otak untuk mengahasilkan pemikiran atau untuk mewujudakan proses berpikir, mereka tergelincir
dalam kekeliruan. Kekeliruan mereka terletak ketika menyimpulkan keterkaitan
antara fakta dengan otak dengan melalui proses refleksi antara fakta terhadap
otak.
Disisi
lain faktor kekeliruan mereka dalam memahami fakta proses berpikir lebih di
akibatkan lagi oleh pengingkaran mereka kepada sang Pencipta (al-Khaliq) yang telah menciptakan alam
semesta ini dari ketiadaaan.[6]Orang-orang
Marxis mengusung pendapat seperti ini semata-mata ingin membuktikan bahwa materi itu telah ada lebih dahulu dari
pada pemikiran (pengetahuan),
sehingga realitas atau materi dianggap sebagai sumber kebudayaan, peradaban,
tatanan masyarakat, serta kesadaran; dan semua itu mengalami evolusi seiring
dengan perubahan materi.
Mereka menyatakan bahwa refleksi (pemantulan) materi terhadap otak
adalah akal, dan proses refleksilah yang membentuk pemikiran dan proses
berpikir. Mereka menolak adanya pengetahuan awal terhadap materi dengan membuat
bermacam-macam fantasi dan asumsi. Dengan menyatakan bahwa manusia pertama
telah melakukan percobaan (eksperimen) atas berbagai fakta hingga menghasilkan
pengetahuan terhadap materi dan disepakati bersama. Demi untuk menghindari
Kaum
komunis dalam membangun kerangka berpikirnya tidak bisa melihat perbendaan
antara pengindraan (ihsan, sensation)
dan refleksi (in’ikas, reflection). Mereka
juga tidak bisa melihat bahwa aktivitas berpikir (‘amaliyah at-tafkir) tidak dihasilkan melalui proses refleksi
fakta terhadap otak dan tidak juga dari terbentuknya kesan fakta dan otak,
melainkan dihasilkan melalui proses
pengindraan/pencerapan.[7]
Namun demikian, faktor mendasar dan
asas kesalahan dan penyimpangan mereka adalah pengingkaran mereka terhadap
eksistensi Pecinta yang menciptakan alam semesta ini. Akibatnya mereka tidak
memahami bahwa keberadaan informasi terdahulu tentang fakta merupakan syarat
yang mesti ada bagi adanya sebuah pemikiran atau proses berfikir. Dengan
demikian, dari asas kekeliruan mereka membangun paradigma berpikir berimlipkasi
atas seluru pemikirannya dalam membangun konsep kehidupan (peradaban). Tidak
mengherankan mereka melahirkan peradaban dengan ideologi Komunis-Sosialis
dengan akidah materialisme-nyahanya
bertahan 72 tahun saja.
Analisis
Paradigma Berpikir dalam al-Qur’an
Al-Qur’an
mendeskripsikan bahwa pikiran manusia adalah akumulasi dari segala unsur-unsur
yang berproses dalam diri manusia. Proses tersebut adalah pemindahan
realitas secara menyeluru ke dalam otak manusia melalui indra, dan kemudian
menjelaskan realitas tersebut mengunakan informasi
terdahulu yang berkaitan dengan realitas tersebut.[8]Sebagaimana Allah Swt., berfirman
dalam Q.S al- Baqarah [2]: 31-33.
zN¯=tæurtPy#uäuä!$oÿôF{$#$yg¯=ä.§NèOöNåkyÎztän?tãÏps3Í´¯»n=yJø9$#tA$s)sùÎTqä«Î6/Rr&Ïä!$yJór'Î/ÏäIwàs¯»ydbÎ)öNçFZä.tûüÏ%Ï»|¹ÇÌÊÈ(#qä9$s%y7oY»ysö6ßwzNù=Ïæ!$uZs9wÎ)$tB!$oYtFôJ¯=tã(y7¨RÎ)|MRr&ãLìÎ=yèø9$#ÞOÅ3ptø:$#ÇÌËÈtA$s%ãPy$t«¯»tNßg÷¥Î;/Rr&öNÎhͬ!$oÿôr'Î/(!$£Jn=sùNèdr't6/Rr&öNÎhͬ!$oÿôr'Î/tA$s%öNs9r&@è%r&öNä3©9þÎoTÎ)ãNn=ôãr&|=øxîÏNºuq»uK¡¡9$#ÇÚöF{$#urãNn=÷ær&ur$tBtbrßö7è?$tBuröNçFYä.tbqãKçFõ3s?ÇÌÌÈ
Terjemahannya:
Dan Dia
mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"
Mereka
menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana
Allah
berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya
aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"
Ayat di atas
menerangkan bahwa para malaikat tidak mampu membuat kesimpulan mengenai
realitas yang Allah tujukan sedangkan Nabi Adam mampu melakukannya setelah Adam
menerima informasi dari Allah Swt. Sehingga Malaikat berkata “Maha suci Engkau, kami tidak
mempunyai ilmu sedikit pun, kecuali apa yang telah Engkau maha mengetahui lagi
Bijaksana”
Dengan
demikian jelas bahwa tidak ada satupun manusia yang dapatmengambil kesimpulan
tanpa adanya informasi awal atau pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang
dikaji kemudian pengkajian suatu objek tidak berjalan dengan sempurna sebelum
terpenuhinya empat komponen dasar yaitu:(1) fakta (2) otak manusia yang normal
(3) panca indera (4) dan informasi awal. Empat komponen dasar ini harys
diperhatikan dalam pemikiran dan
rasionalitas [9]
sinergitas dari empat komponen itu akan menghasilkan kekuatan, kekuatan
inilah yang disebut akal. Maka akal dapat diartikan sebagai kekuatan
menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang objek.[10]
Proses
sinergitas dari empat komponen tersebut merupakan khasiyyat,[11]
pada diri manusia, hal inilah yang membedakannya dengan hewan yaitu kemampuan
mengaitkan fakta dengan informasi awal. adapun proses kerja komponen
tersebut hingga memunculkan aktivitas akal, pemikiran, dan kesadaran rasional
yaitu : dengan memindahkan realitas ke dalam otak melalui alat indera dengan
dengan adanya informasi awal yang tersimpan di dalam otak. Pada saat itu
terbentuklah kekuatan (proses berpikir) untuk menyimpulakn realitas tersebut.
Inilah hakikat dan esensi akal manusia.
Berikut uraian empat komponen dasar yaitu fakta atau realitas, otak sehat, alat indrawi
dan informasi awal.
a.
Realitas
Realitas didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada dalam
jangkauan pengindraan manusia. Selain itu realitas merupakan sesuatu yang
menjadi objek pemikiran manusia. Realitas bisa saja berupa benda-benda fisik,
seperti atom, planet, atau bahan kimia; dan bisa juga berupa ide atau konsep
yang tidak bersifat fisik, seperti kata-kata, rumus dll. Sehingga segala
sesuatu yang tidak dapat diindra tidak akan bisa menjadi objek proses berpikir,
oleh karna kaum Muslim tidak perlu menghabiskan waktu dan tenagannya untuk
berpikir tentang makhluk-makhluk ghaib. Namun kaum muslimin beriman kepada
hal-hal yang ghaib semata-mata adanya dalil qath’I
yang menjelaskan keberadaannya.
b.
Indera
Indera terdiri dari lima macam alat indera, yaitu indera
penglihatan, pendengaran, perasa, pencium, dan indera peraba. Indera juga
meliputi berbagai rasa timbul dari potensi kebutuhan jasmani dan dorongan
naluri seperti rasa lapar dan dahaga, maupun berbagai perasaan atau emosi
seperti rasa gelisa, rasa haru, dan rasa tertarik dengan lawan jenis.
c.
Otak
Manusia
Otak manusia adalah tempat dimana indera menyampaikan informasi tentang realitas yang
dihadapi atau tempat informasi tentang realitas itu disimpan. Otak memproduksi
sinyal elektrit yang bergabung dengan reaksi kimia sehingga akan membuat semua
bagian tubuh bisa berkomunikasi,[12]
atau menerima dan mengirim sinyal-sinyal dari dan ke sistem syaraf. Oleh karna
otak berfungsi menyampaikan sinyal ke organ tubuh, maka kalau sesoorang
bertindak semata-mata berdasarkan sinyal yang dikiram otak saja, maka tindakan
yang dihasilkan itu hanya bersifat naluria dan reaksioner. Dalam kondisi
seperti ini fungsi otak manusia tidak berbeda dengan otak hewan.
d.
Informasi
Awal
Ketiga elemen akal yang telah dijelaskan di atas hanya dapat
menghasilkan penginderaan, tetapi belum bisa menghasilkan proses berfikir.
Informasi awal merupakan elemen yang memungkinkan proses tersebut terwujud.
Informasi dijadikan sebagai pijakan dalam memahami dan menafsirkan realitas
sebagaimana telah digambarkan dalam al-Qur’an al-Karim.
Umat
Islam dalam mewujudkan mafhum
(pemahaman)-nya adalah hasil penghukuman terhadap fakta dengan menjadikan kitab suci
al-Qur’an sebagai informasi. Maka dengan aktifitas ini kemudian akan melahirkan
tsaqafa Islam.[13]
Dengan demikian umat Islam dalam hal ini memiliki kaidah berpikir dalam
menentukan suatu kebijakan dan keputusan dalam hidupnya, yaitu dengan
menjadikan kitab suci al-Qur’an dalam memahami realitas
Relevansi Bahasa dengan Informasi Awal
Setelah
memahami informasi awal sebagai syarat utama dalam menjustifikasi sebuah fakta,
maka hal terpenting yang harus ada pada fakta adalah bahasa. Bahasa yang
menjembatani fakta tersebut, untuk kemudian dapat dipahami dan dihukumi
berdasarkan al_Qur’an al-Karim. Bahasa lahir atas kesepakatan individu-individu
dalam suatu wilayah yamg melakukan interaksi secara terus menerus, sehingga
inilah yang disebut dengan masyrakat.[14]
Keterkaitan
bahasa dengan informasi awal sangat mempengaruhi lahirnya suatu pemikiran. Maka
tidak heran, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengemukakan bahwa sebab utama
kemunduran umat Islam adalah ditinggalkannya bahasa Arab, akibatnya kharisma
yamg dimiliki bahasa arab terpisah dengan Islam, sehingga kemampuan umat Islam
dalam menjustifikasi realitas atau fakta menjadi melemah, karna tidak adanya ijetihad.[15]
Bahasa Arab dalam pandangan Islam bagaikan saudara kembar yang tidak bisa
terpisahkan, ia sebagai alat untuk memahami Islam dengan benar. Bahasa Arab
memiliki kekuatan besar yang telah turut mengembangkan kharisma Islam. Bahasa
Arab merupakan satu kesatuan. Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan secara
sempurna kecuali dengan bahasa arab. Meremehkan bahasa arab akan menghilangkan
ijetihad terhadap syari’at, karna ijetihad terhadap syari’ah tidak mungkin
dilaksanakan tanpa terpenuhinya salah satu syrat mendasar yaitu bahasa arab.
Kedudukan ijetihad sendiri teramat penting bagi umat Islam, sehingga umat tidak
akan memproleh kemajuan tanpa adanya ijetihad.
Fakta menunjukan bahwa kemunduran
umat Islam diberbagai bidang diakibatkan kebodohannya dalam memahami ajaran
Islam. Kebodohan itu dapat dilihat dari ketidakmampuannya dalam membentengi pemikiran
(konsep) yang lahir diluar Islam. Inilah bukti bahwa bahasa dalam pandangan
Islam, – khususnya bahasa Arab – ia
sebagai jembatan bagi informasi awal dalam memahami suatu realitas, sehingga
hal tersebut sangat berkaitan dengan lahirnya suatu pemikiran (konsep) dan
kemajuan peradaban.
Kesimpulan
Kemajuan sebuah peradaban dalam Islam
merupakan hal yang pasti, selama umatnya menjadikan Islam sebagai asas dalam
menciptakan pemikiran dan peraturan. Objek yang kemudian terindera akan
mendapat penilain dan penghukuman oleh informasi awal (al-Qur’an dan al-Hadits)
dengan menjadikan bahasa arab sebagai jembatan dalam mengaitkan fakta tersebut.
Karna dengan bahasa arab akan tercipta sinergitas antara informasi awal dan
fakta melalui ijtihad.
Berbeda halnya dengan kaum Komunis
yang tidak memiliki standar kebenaran menilai realitas, diakibatkan oleh
sikapnya yang mengingkari eksistensi Tuhan. Atas dasar inilah kemudian mereka
menjadikan materi atau fakta sebagai sumber dari segala ilmu pengetahuan dengan
menjadikan dialektika materialisme sebagai asas lahirnya ilmu
pengetahuan.
Daftar Pustaka
Abdurahman, Hafidz, Diskursus Islam Politik dan Spritual, Cet. IV. Bogor: Al-Azhar Pres, 1433 H/2012 M
Abdurahman, M, Membangun Pemikiran Cemerlang, diterjemahkan
oleh Abu Faiz, Membangun Pemikiran Cemerlang, Cet. III;Pustaka Thariqul
Izzah:Bogor, 2014
An-Nabhani,
Taqiyuddin, Atafkir, diterjemahkan oleh Taqiyuddinas-Siba’I, Hakikat
Berpikir, Cet. II; PT. Thariqul Izzah: Bogor, 2006
An-Nabhani, Taqiyuddin,
Peraturan Hidup dalam Islam, Ed. Mu’tamadah. Cet. XII; Jakarta
Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2013
An-Nabhani, Taqiyuddin,
Mafahim Hizbut Tahrir, Ed. Mu’tamadah. Cet. III; Jakarta: Hizbut
Tahrir Indoneasia, 2007
An-Nabhani, Taqiyuddin,
Kepribadian Islam, Terj. Cet.I,
Hizbut Tahrir Indonesia;Jakarta Selatan, 2007
Hizbut
Tahrir, Hathimiyyah Shirah’ al-Hadharat, diterjemah kanoleh Abu Faiz, Benturan Peradaban Sebuah
Keniscayaan, Cet. I; Hizbut Tahrir Indonesia:Jakarta Selatan, 2004
Novia, Astri, Melatih Otak Setajam Silet, Cet. III;
Media Pressindo:Yogyakarta, 2010
Media
Ummat, Memperjuangkan Kehidupan Islam, Astagrirullah Remaja Kok disuru Zina,
Ed. 145; 20 Februari 2015
[1]
Gambaran akal dan proses berpikir
[2]
Taqiyuddin An-Nabhani, Atafkir, diterjemahkan oleh Taqiyuddinas-Siba’I, Hakikat
Berpikir, (Cet. II; PT. Thariqul Izzah: Bogor, 2006) h. 2
[3]Media
Ummat, Memperjuangkan Kehidupan Islam, Astagrirullah Remaja Kok disuru Zina,
(Ed. 145; 20 Februari 2015), h.15
[4]Hizbut
Tahrir, Hathimiyyah Shirah’ al-Hadharat,diterjemahkanoleh Abu Faiz, BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan,
(Cet. I;HizbutTahrirIndonesia:Jakarta Selatan, 2004) h. 7
[5]Taqiyuddin
An-Nabhani, Atafkir,op.cit., h.
5
[7]Ibid.,
[8]M.
Abdurahman, Membangun Pemikiran Cemerlang, diterjemahkan oleh Abu Faiz, Membangun
Pemikiran Cemerlang, (Cet. III;Pustaka Thariqul Izzah:Bogor, 2014) h. 155
[9]Taqiyuddin
an-Nabhani, Hakikat Berfikir,op.cit.
h. 25
[10]Hafidz Abdurahman, Diskursus Islam Politik dan Spritual, (Cet. IV.
Bogor: Al-Azhar Pres, 1433 H/2012 M), h. 56
[11]Khashiyyat adalah
keistimewaan berupa potensi yang secara spesifik Allah berikan pada
suatu benda (manusia) sehingga benda tersebut dapat memberikan sesuatu atau
dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu. Misalkan, api
dengan khasiyyat membakar, pisau
dengan khasiyyat memotong dll.
[12]Astri Novia, Melatih Otak Setajam Silet, (Cet. III;
Media Pressindo:Yogyakarta, 2010), h. 3
[13]Tsaqafah
Islamiyyah adalah
pengetahuan yang dibangun berdasarkan Akidah Islam.Jika asasnya bukan dari
Islam, maka staqafah tersebut bukan staqafah Islam. Contoh staqafah Islam adalah al-Qur’an dan
al-Hadits serta pengetahuan yang berkaitan dengan kedua nas tersebut, seperti
Ushul Tafsir, Ilmu Tajwid, Ilmu Sabab Nuzul, Tafsir al-Qur’an, Ushul Hadits
Ilmu Sabab Wurud al-Hadits, Sirah Rasul dan Sahabat, Ilmu Ushul Fiqhi,Ilmu
Fiqhi, serta Ilmu Bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharf, Balagha dan sebagainya.
Sedangkan Filsafat Islam yang berkembang di dunia saat ini, tidak termasuk
dalam tsaqafah Islam. Lihat,Hafidz
Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan
Spritual, (Cet. IV, Al-Azhar Press;Bogor,1433 H/2012 M) h. 289. Lihat juga,
Taqiyuddin an-Nabhani,Kepribadian Islam
(terjemahan),(Cet.I, Hizbut Tahrir Indonesia;Jakarta Selatan, 2007), h, 386
[14]Taqiyuddin an-Nabhani,
Peraturan Hidup dalam Islam,(Ed. Mu’tamadah. Cet. XII; Jakarta
Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2013) h. 65
[15]Taqiyuddin an-Nabhani,
Mafahim Hizbut Tahrir, (Ed. Mu’tamadah. Cet. III; Jakarta: Hizbut
Tahrir Indoneasia, 2007), h. 6-7
0 Response to "Bahasa Dan Pikiran Sebagai Tombak Kemajuan Peradaban Dalam Pandangan Al-Qur’an"
Post a Comment