Bahasa Dan Pikiran Sebagai Tombak Kemajuan Peradaban Dalam Pandangan Al-Qur’an



ABSTRAK 
Musafir, 2015, “Bahasa dan Pikiran Sebagai Tombak Kemajuan Dalam Pandangan al-Qur’an”

Artikel ini membahas mengenai korelasi bahasa dan pikiran  manusia dari sudut pandang al-Qur’an, yaitu menggambarkan proses berpikir pada manusia yang tidak bisa lepas dari bahasa. Karna bahasa sebagai sarana bagi informasi untuk mendeskripsikan objek yang diinformasikan. Sedangkan informasi adalah salah satu syarat lahirnya proses berpikir yang rasional pada manusia.
Maka dalam penelitian ini penulis mencoba membangun kerangka berpikir Islami dengan menjadikan bahasa sebagai pisau analis dalam memahami teks-teks realitas kehidupan. Disisi lain penulis mencoba membangun paradigma berpikir Islami dengan menjadikan metode berpikir rasional sebagai metode dalam memahami realitas. Serta mengungkap berbagai metode berpikir dewasa ini.
Dalam penelitian membuktikan, bahasa adalah salah satu alternatif menjembatani pemahaman terhadap realitas. Dan al-Qur’an membuktikan akan alur terjadinya proses tersebut, yang tergambar dalam QS. Al-Baqarah [2]:32. Ketika terjadi dialog antara Tuhan dan Adam as maka perdialokan tersebut menjadikan Adam paham akan realitas di surga. Hal ini mengindikasikan adanya rasionalitas yang terjadi dalam memahami teks-teks benda di surga.Dengan demikian dapat disimpulkan, untuk membangun pikiran dengan metode rasional dalam memahami realitas, maka mengharuskan adanya bahasa.




Pendahuluan
Berpikir adalah bagian dari aktivitas manusia. Dalam aktivitas inilah kehidupan manusia menjadi dinamis, sampai-sampai dikatakan – dan ungkapan ini benar – bahwa manusia lebih utama dari pada malaikat. Keutamaan manusia ini tiada lain terletak pada akalnya. Akal inilah yang mengangkat manusia dan sekaligus menjadikannya mekhluk yang paling utama.Berbagai macam ilmu, seni, sastra, filsafat, fikih (hukum), ilmu bahasa, ilmu eksakta, semuanya dipandang sebagai ilmu pengetahuan itu sendiri, tiada lain adalah produk akal, yang konsekuensinya merupakan produk proses berpikir. Oleh karna itu, demi kebaikan umat manusia, kehidupan dan alam semesta, harus ada pengetahuan mengenai akal itu sendiri. Disisi lain harus pula diketahui fakta mengenai proses berpikir dan metode berpikir.
Realitas membuktikan, umat manusia dalam kurun waktu yang sangat panjang ternyata lebih menaruh perhatian pada buah akal dan buah proses berpikir dari pada memberikan perhatian pada fakta mengenai akal dan proses berpikir.[1]Walaupun perna ada orang-orang yang berusaha memahami fakta akal dan proses berpikir, baik intelektual kaum Muslim dan non-Muslim. Akan tetapi, semuanya gagal dalam memahami fakta akal itu sendiri dan gagal membangun proses berpikir yang shahih.
Masa Yunani misalkan, umat manusia telah terdorong untuk mengetahui fakta mengenai proses berpikir. Hasilnya mereka sampai pada apa yang disebut dengan logika (‘ilmu mantiq) juga telah sampai pada apa yang disebut filsafat yang merupakan bagian dari sekian banyak metodologi yang digunakan manusia dewasa ini dalam mencari kebenaran. Filsafat (falsafah) adalah studi mendalam mengenai apa yang ada di balik eksistensi materi (gaib, supernatural).[2] Hal tersebut perlu diadakannya analisis bagaimana akidah Islam memandang metodologi tersebut.
Dengan demikian dalam kajian berikut penulis akan memaparkan studi mengenai pikiran manusia yang tersirat dalam al-Qur’an yang menjadikan bahasa sabagai salah satu syarat terbentuknya proses berpikir dan menciptakan metode berpikir rasional dalam memahami realitas. Dan sedikit mengkritisi metode berpikir Yunani dengan logikanya yang khas dengan menggunakan pisau analis akidah Islam yang bersumber dari Allah Swt.



Pembahasan
Suatu pemikiran erat kaitannya dengan akidah dan pandangan hidup sesoorang.[3] Hal ini terlihat dalam sebuah peradaban manusia, dimana dikatakan suatu peradaban jika di dalamnya terdapat sekumpulan konsep tentang kehidupan[4]. Lahirnya konsep tersebut terkadang bersumber dari wahyu dan terkadang pula dari orang-orang yang sepakat atas konsep-konsep tersebut. Dengan demikian peradaban (sekumpulan konsep kehidupan) yang lahir, sangat erat kaitannya dengan pandangan hidup sesoorang bagaimana melihat realitas, menghukumi realitas,dan membangun suatu peradaban atas konsep tersebut.
Maka proses lahirnya suatu peradaban itu di awali dengan adanya Ideologi yang menjadi dasar. Ideologi ini kemudian memancarkan konsep dan metode untuk menerapkan konsep tersebut. Pengkajian terhadap konsep – digunakan untuk membangun peradaban – bisa melalui peng-istinbath-an (menetapkan) langsung dari agama (wahyu) dan dari buatan manusia sendiri melalui kesepakatan. Peng-istinbath-an suatu konsep dari Agama, maka akan melahirkan peradaban spritual ilahiyah, seperti peradaban Islam yang lahir dari akidah Islamiyah, sedangkan suatu peradaban yang lahir atas kesepakatan dan tidak merujuk pada konsep Agama maka peradaban tersebut adalah hasil dari pikiran manusia dalam merumuskan konsep, seperti peradaban India dan peradaban Barat.
Dengan melihat penjelasan di atas menggambarkan bahwa adanya aktivitas berpikir dilakukan dari pihak yang menganut akidah Islam dan non-akidah Islam untuk melahirkan suatu konsep. Aktivitas berpikir inilah yang kemudian menjadi objek kajian pada tulisan ini.
Analisis Paradigma Berpikir Kaum Sosialis­/Komunis
Para pemikir sosialis/komunis (yang mengingkari eksistensi tuhan) telah berhasil membangun sebuah definisi mengenai fakta proses berpikir, dan definisi tersebut menghampiri kebenaran.Namun yang menjadi sebab kerusakan atau ke tidak sumpurnaan definisi tersebut karna pengingkarannya kepada sang pencipta (al-Khaliq) alam ini. Adapun definisi mereka mengenai proses berpikir ialah refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta pemikiran, bahwa pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak,dan proses refleksi fakta terhadap otak.[5] Inilah pendapat mereka.
Hal ini karna memang benar, bahwa pemikiran tidak akan terbentuk tanpa adanya fakta. Setiap pengetahuan yang tidak ada faktanya hanyalah khayalan dan imajinasi semata. Sedangkan otak merupakan pusat utama dan mendasar yang ada pada diri manusia. Karnannya, sebuah pemikiran tidak akan terwujud kecuali dengan adanya otak. Walhasil, untuk mewujudkan adanya akal, yaitu proses berpikir, atau adanya pemikiran, haruslah ada fakta dan otak. Para pemikir komunis telah sampai pada dua hal ini. Dan itu bisa di katakan sebagai usaha yang serius dan benar. Yaitu mereka berhasil menyimpulkan bahwa keberadaan akal mesti bergantung pada adanya fakta dan otak.
Sayangnya ketika mereka berusaha mengaitkan fakta dengan otak untuk mengahasilkan pemikiran atau untuk mewujudakan proses berpikir, mereka tergelincir dalam kekeliruan. Kekeliruan mereka terletak ketika menyimpulkan keterkaitan antara fakta dengan otak dengan melalui proses refleksi antara fakta terhadap otak.
Disisi lain faktor kekeliruan mereka dalam memahami fakta proses berpikir lebih di akibatkan lagi oleh pengingkaran mereka kepada sang Pencipta (al-Khaliq) yang telah menciptakan alam semesta ini dari ketiadaaan.[6]Orang-orang Marxis mengusung pendapat seperti ini semata-mata ingin membuktikan bahwa materi itu telah ada lebih dahulu dari pada pemikiran (pengetahuan), sehingga realitas atau materi dianggap sebagai sumber kebudayaan, peradaban, tatanan masyarakat, serta kesadaran; dan semua itu mengalami evolusi seiring dengan perubahan materi.
Mereka menyatakan bahwa refleksi (pemantulan) materi terhadap otak adalah akal, dan proses refleksilah yang membentuk pemikiran dan proses berpikir. Mereka menolak adanya pengetahuan awal terhadap materi dengan membuat bermacam-macam fantasi dan asumsi. Dengan menyatakan bahwa manusia pertama telah melakukan percobaan (eksperimen) atas berbagai fakta hingga menghasilkan pengetahuan terhadap materi dan disepakati bersama. Demi untuk menghindari
Kaum komunis dalam membangun kerangka berpikirnya tidak bisa melihat perbendaan antara pengindraan (ihsan, sensation) dan refleksi (in’ikas, reflection). Mereka juga tidak bisa melihat bahwa aktivitas berpikir (‘amaliyah at-tafkir) tidak dihasilkan melalui proses refleksi fakta terhadap otak dan tidak juga dari terbentuknya kesan fakta dan otak, melainkan dihasilkan melalui proses pengindraan/pencerapan.[7]
Namun demikian, faktor mendasar dan asas kesalahan dan penyimpangan mereka adalah pengingkaran mereka terhadap eksistensi Pecinta yang menciptakan alam semesta ini. Akibatnya mereka tidak memahami bahwa keberadaan informasi terdahulu tentang fakta merupakan syarat yang mesti ada bagi adanya sebuah pemikiran atau proses berfikir. Dengan demikian, dari asas kekeliruan mereka membangun paradigma berpikir berimlipkasi atas seluru pemikirannya dalam membangun konsep kehidupan (peradaban). Tidak mengherankan mereka melahirkan peradaban dengan ideologi Komunis-Sosialis dengan akidah materialisme-nyahanya bertahan 72 tahun saja.
Analisis Paradigma Berpikir dalam al-Qur’an
Al-Qur’an mendeskripsikan bahwa pikiran manusia adalah akumulasi dari segala unsur-unsur yang berproses dalam diri manusia. Proses tersebut adalah pemindahan realitas secara menyeluru ke dalam otak manusia melalui indra, dan kemudian menjelaskan realitas tersebut mengunakan informasi terdahulu yang berkaitan dengan realitas tersebut.[8]Sebagaimana Allah Swt., berfirman dalam Q.S al- Baqarah [2]: 31-33.

zN¯=tæurtPyŠ#uäuä!$oÿôœF{$#$yg¯=ä.§NèOöNåkyÎztän?tãÏps3Í´¯»n=yJø9$#tA$s)sùÎTqä«Î6/Rr&Ïä!$yJór'Î/ÏäIwàs¯»ydbÎ)öNçFZä.tûüÏ%Ï»|¹ÇÌÊÈ(#qä9$s%y7oY»ysö6ߟwzNù=Ïæ!$uZs9žwÎ)$tB!$oYtFôJ¯=tã(y7¨RÎ)|MRr&ãLìÎ=yèø9$#ÞOŠÅ3ptø:$#ÇÌËÈtA$s%ãPyŠ$t«¯»tƒNßg÷¥Î;/Rr&öNÎhͬ!$oÿôœr'Î/(!$£Jn=sùNèdr't6/Rr&öNÎhͬ!$oÿôœr'Î/tA$s%öNs9r&@è%r&öNä3©9þÎoTÎ)ãNn=ôãr&|=øxîÏNºuq»uK¡¡9$#ÇÚöF{$#urãNn=÷ær&ur$tBtbrßö7è?$tBuröNçFYä.tbqãKçFõ3s?ÇÌÌÈ

Terjemahannya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Ayat di atas menerangkan bahwa para malaikat tidak mampu membuat kesimpulan mengenai realitas yang Allah tujukan sedangkan Nabi Adam mampu melakukannya setelah Adam menerima informasi dari Allah Swt. Sehingga Malaikat  berkata “Maha suci Engkau, kami tidak mempunyai ilmu sedikit pun, kecuali apa yang telah Engkau maha mengetahui lagi Bijaksana”
Dengan demikian jelas bahwa tidak ada satupun manusia yang dapatmengambil kesimpulan tanpa adanya informasi awal atau pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang dikaji kemudian pengkajian suatu objek tidak berjalan dengan sempurna sebelum terpenuhinya empat komponen dasar yaitu:(1) fakta (2) otak manusia yang normal (3) panca indera (4) dan informasi awal. Empat komponen dasar ini harys diperhatikan dalam  pemikiran dan rasionalitas [9] sinergitas dari empat komponen itu akan menghasilkan kekuatan, kekuatan inilah yang disebut akal. Maka akal dapat diartikan sebagai kekuatan menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang objek.[10]
Proses sinergitas dari empat komponen tersebut merupakan khasiyyat,[11] pada diri manusia, hal inilah yang membedakannya dengan hewan yaitu kemampuan mengaitkan fakta dengan informasi awal. adapun proses kerja komponen tersebut hingga memunculkan aktivitas akal, pemikiran, dan kesadaran rasional yaitu : dengan memindahkan realitas ke dalam otak melalui alat indera dengan dengan adanya informasi awal yang tersimpan di dalam otak. Pada saat itu terbentuklah kekuatan (proses berpikir) untuk menyimpulakn realitas tersebut. Inilah hakikat dan esensi akal manusia.
Berikut uraian empat komponen dasar yaitu fakta atau realitas, otak sehat, alat indrawi dan informasi awal.
a.       Realitas
Realitas didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada dalam jangkauan pengindraan manusia. Selain itu realitas merupakan sesuatu yang menjadi objek pemikiran manusia. Realitas bisa saja berupa benda-benda fisik, seperti atom, planet, atau bahan kimia; dan bisa juga berupa ide atau konsep yang tidak bersifat fisik, seperti kata-kata, rumus dll. Sehingga segala sesuatu yang tidak dapat diindra tidak akan bisa menjadi objek proses berpikir, oleh karna kaum Muslim tidak perlu menghabiskan waktu dan tenagannya untuk berpikir tentang makhluk-makhluk ghaib. Namun kaum muslimin beriman kepada hal-hal yang ghaib semata-mata adanya dalil qath’I yang menjelaskan keberadaannya.
b.      Indera
Indera terdiri dari lima macam alat indera, yaitu indera penglihatan, pendengaran, perasa, pencium, dan indera peraba. Indera juga meliputi berbagai rasa timbul dari potensi kebutuhan jasmani dan dorongan naluri seperti rasa lapar dan dahaga, maupun berbagai perasaan atau emosi seperti rasa gelisa, rasa haru, dan rasa tertarik dengan lawan jenis.
c.       Otak Manusia
Otak manusia adalah tempat dimana indera menyampaikan informasi tentang realitas yang dihadapi atau tempat informasi tentang realitas itu disimpan. Otak memproduksi sinyal elektrit yang bergabung dengan reaksi kimia sehingga akan membuat semua bagian tubuh bisa berkomunikasi,[12] atau menerima dan mengirim sinyal-sinyal dari dan ke sistem syaraf. Oleh karna otak berfungsi menyampaikan sinyal ke organ tubuh, maka kalau sesoorang bertindak semata-mata berdasarkan sinyal yang dikiram otak saja, maka tindakan yang dihasilkan itu hanya bersifat naluria dan reaksioner. Dalam kondisi seperti ini fungsi otak manusia tidak berbeda dengan otak hewan.
d.      Informasi Awal
Ketiga elemen akal yang telah dijelaskan di atas hanya dapat menghasilkan penginderaan, tetapi belum bisa menghasilkan proses berfikir. Informasi awal merupakan elemen yang memungkinkan proses tersebut terwujud. Informasi dijadikan sebagai pijakan dalam memahami dan menafsirkan realitas sebagaimana telah digambarkan dalam al-Qur’an al-Karim.
Umat Islam dalam mewujudkan mafhum (pemahaman)-nya adalah hasil penghukuman  terhadap fakta dengan menjadikan kitab suci al-Qur’an sebagai informasi. Maka dengan aktifitas ini kemudian akan melahirkan tsaqafa Islam.[13] Dengan demikian umat Islam dalam hal ini memiliki kaidah berpikir dalam menentukan suatu kebijakan dan keputusan dalam hidupnya, yaitu dengan menjadikan kitab suci al-Qur’an dalam memahami realitas
Relevansi Bahasa dengan Informasi Awal
Setelah memahami informasi awal sebagai syarat utama dalam menjustifikasi sebuah fakta, maka hal terpenting yang harus ada pada fakta adalah bahasa. Bahasa yang menjembatani fakta tersebut, untuk kemudian dapat dipahami dan dihukumi berdasarkan al_Qur’an al-Karim. Bahasa lahir atas kesepakatan individu-individu dalam suatu wilayah yamg melakukan interaksi secara terus menerus, sehingga inilah yang disebut dengan masyrakat.[14]
Keterkaitan bahasa dengan informasi awal sangat mempengaruhi lahirnya suatu pemikiran. Maka tidak heran, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengemukakan bahwa sebab utama kemunduran umat Islam adalah ditinggalkannya bahasa Arab, akibatnya kharisma yamg dimiliki bahasa arab terpisah dengan Islam, sehingga kemampuan umat Islam dalam menjustifikasi realitas atau fakta menjadi melemah, karna tidak adanya ijetihad.[15] Bahasa Arab dalam pandangan Islam bagaikan saudara kembar yang tidak bisa terpisahkan, ia sebagai alat untuk memahami Islam dengan benar. Bahasa Arab memiliki kekuatan besar yang telah turut mengembangkan kharisma Islam. Bahasa Arab merupakan satu kesatuan. Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan bahasa arab. Meremehkan bahasa arab akan menghilangkan ijetihad terhadap syari’at, karna ijetihad terhadap syari’ah tidak mungkin dilaksanakan tanpa terpenuhinya salah satu syrat mendasar yaitu bahasa arab. Kedudukan ijetihad sendiri teramat penting bagi umat Islam, sehingga umat tidak akan memproleh kemajuan tanpa adanya ijetihad.
Fakta menunjukan bahwa kemunduran umat Islam diberbagai bidang diakibatkan kebodohannya dalam memahami ajaran Islam. Kebodohan itu dapat dilihat dari ketidakmampuannya dalam membentengi pemikiran (konsep) yang lahir diluar Islam. Inilah bukti bahwa bahasa dalam pandangan Islam, – khususnya bahasa Arab –  ia sebagai jembatan bagi informasi awal dalam memahami suatu realitas, sehingga hal tersebut sangat berkaitan dengan lahirnya suatu pemikiran (konsep) dan kemajuan peradaban.
Kesimpulan
            Kemajuan sebuah peradaban dalam Islam merupakan hal yang pasti, selama umatnya menjadikan Islam sebagai asas dalam menciptakan pemikiran dan peraturan. Objek yang kemudian terindera akan mendapat penilain dan penghukuman oleh informasi awal (al-Qur’an dan al-Hadits) dengan menjadikan bahasa arab sebagai jembatan dalam mengaitkan fakta tersebut. Karna dengan bahasa arab akan tercipta sinergitas antara informasi awal dan fakta melalui ijtihad.
            Berbeda halnya dengan kaum Komunis yang tidak memiliki standar kebenaran menilai realitas, diakibatkan oleh sikapnya yang mengingkari eksistensi Tuhan. Atas dasar inilah kemudian mereka menjadikan materi atau fakta sebagai sumber dari segala ilmu pengetahuan dengan menjadikan dialektika materialisme sebagai asas lahirnya ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka
Abdurahman, Hafidz, Diskursus Islam Politik dan Spritual, Cet. IV. Bogor: Al-Azhar Pres, 1433 H/2012 M
Abdurahman,  M, Membangun Pemikiran Cemerlang, diterjemahkan oleh Abu Faiz, Membangun Pemikiran Cemerlang, Cet. III;Pustaka Thariqul Izzah:Bogor, 2014
An-Nabhani, Taqiyuddin, Atafkir, diterjemahkan oleh Taqiyuddinas-Siba’I, Hakikat Berpikir, Cet. II; PT. Thariqul Izzah: Bogor, 2006
An-Nabhani, Taqiyuddin, Peraturan Hidup dalam  Islam, Ed. Mu’tamadah. Cet. XII; Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2013
An-Nabhani, Taqiyuddin, Mafahim Hizbut Tahrir, Ed. Mu’tamadah. Cet. III; Jakarta: Hizbut Tahrir Indoneasia, 2007
An-Nabhani, Taqiyuddin, Kepribadian Islam, Terj. Cet.I, Hizbut Tahrir Indonesia;Jakarta Selatan, 2007
Hizbut Tahrir, Hathimiyyah Shirah’ al-Hadharat, diterjemah kanoleh Abu Faiz, Benturan Peradaban Sebuah Keniscayaan, Cet. I; Hizbut Tahrir Indonesia:Jakarta Selatan, 2004
Novia, Astri, Melatih Otak Setajam Silet, Cet. III; Media Pressindo:Yogyakarta, 2010
Media Ummat, Memperjuangkan Kehidupan Islam, Astagrirullah Remaja Kok disuru Zina, Ed. 145; 20 Februari 2015



[1] Gambaran akal dan proses berpikir
[2] Taqiyuddin An-Nabhani, Atafkir, diterjemahkan oleh Taqiyuddinas-Siba’I, Hakikat Berpikir, (Cet. II; PT. Thariqul Izzah: Bogor, 2006) h. 2
[3]Media Ummat, Memperjuangkan Kehidupan Islam, Astagrirullah Remaja Kok disuru Zina, (Ed. 145; 20 Februari 2015), h.15
[4]Hizbut Tahrir, Hathimiyyah Shirah’ al-Hadharat,diterjemahkanoleh Abu Faiz, BenturanPeradabanSebuahKeniscayaan, (Cet. I;HizbutTahrirIndonesia:Jakarta Selatan, 2004) h. 7
[5]Taqiyuddin An-Nabhani, Atafkir,op.cit., h. 5
[6]Ibid.,h. 7
[7]Ibid.,
[8]M. Abdurahman, Membangun Pemikiran Cemerlang, diterjemahkan oleh Abu Faiz, Membangun Pemikiran Cemerlang, (Cet. III;Pustaka Thariqul Izzah:Bogor, 2014) h. 155
[9]Taqiyuddin an-Nabhani, Hakikat Berfikir,op.cit. h. 25
[10]Hafidz Abdurahman, Diskursus Islam Politik dan Spritual, (Cet. IV. Bogor: Al-Azhar Pres, 1433 H/2012 M), h. 56
[11]Khashiyyat adalah  keistimewaan berupa potensi yang secara spesifik Allah berikan pada suatu benda (manusia) sehingga benda tersebut dapat memberikan sesuatu atau dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu. Misalkan, api dengan khasiyyat membakar, pisau dengan khasiyyat memotong dll.
[12]Astri Novia, Melatih Otak Setajam Silet, (Cet. III; Media Pressindo:Yogyakarta, 2010), h. 3
[13]Tsaqafah Islamiyyah adalah pengetahuan yang dibangun berdasarkan Akidah Islam.Jika asasnya bukan dari Islam, maka staqafah tersebut bukan staqafah Islam. Contoh staqafah Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits serta pengetahuan yang berkaitan dengan kedua nas tersebut, seperti Ushul Tafsir, Ilmu Tajwid, Ilmu Sabab Nuzul, Tafsir al-Qur’an, Ushul Hadits Ilmu Sabab Wurud al-Hadits, Sirah Rasul dan Sahabat, Ilmu Ushul Fiqhi,Ilmu Fiqhi, serta Ilmu Bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharf, Balagha dan sebagainya. Sedangkan Filsafat Islam yang berkembang di dunia saat ini, tidak termasuk dalam tsaqafah Islam. Lihat,Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spritual, (Cet. IV, Al-Azhar Press;Bogor,1433 H/2012 M) h. 289. Lihat juga, Taqiyuddin an-Nabhani,Kepribadian Islam (terjemahan),(Cet.I, Hizbut Tahrir Indonesia;Jakarta Selatan, 2007), h, 386
[14]Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam  Islam,(Ed. Mu’tamadah. Cet. XII; Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2013) h. 65
[15]Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, (Ed. Mu’tamadah. Cet. III; Jakarta: Hizbut Tahrir Indoneasia, 2007),  h. 6-7

Related Posts:

0 Response to "Bahasa Dan Pikiran Sebagai Tombak Kemajuan Peradaban Dalam Pandangan Al-Qur’an"

Post a Comment