Konsep Sekularisme dan Pluralisme dalam Presfektif Islam

Pendahuluan Sebuah peristilahan menjadi subur di era pertarungan pemikiran dewasa ini dan kelahirannya membawa makna dan tujuan. Dan salah satu istilah yang menjadi wacana yang tidak habis-habisnya menghantui dan merusak kaum Muslim ialah sekularisme, Pluralisme, leberalisme dll., walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa haramnya paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005, tetap saja pluralisme melenggang kangkung diusung media.

Walhasil, umat Islam pun menjadi bingung, semua yang pro dan kontra dengan sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) ini semua mengatasnamakan Islam, mana yang harus dipercaya, yang mana yang harus diikuti menjadi samar. Banyak diantara kaum muslim akhirnya yang memilih untuk tidak perduli. Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk meletakkan sebuah pemahaman yang benar tentang faham Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme. Tulisan ini akan mengungkap kedua konsep secara konferehensif dalam fresfektik Islam. 

Bagaimana Konsep, Sejarah, Bantahan Islam terhadap Sekularisme.?
Bagaimana Konsep, Sejarah, Bantahan Islam terhadap Pluralisme.?
  
Konsep Sekularisme

Istilah sekularisme tidak asing lagi dibenak manusia, sebagian kalangan menganggap bahwa paham ini baik bagi kehidupan manusia dan kalangan lain menganggap paham ini bertentangan dengan keuniversalan Islam. Berikut penulis akan memaparkan konsep sekularisme dari beberapa segi.

Pengertian Sekularisme

Didalam KBBI sekularisme ialah paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.[1] Secara filosofi Sekularisme adalah ‘the belief that life can be best lived by applying ethics, and the universe best understood, by processes of reasoning, without reference to a god or gods or other supernatural concepts’ (pandangan yang menganggap bahwa kehidupan dapat dijalani paling baik dengan menggunakan etika, dan pengertian paling baik dari alam semesta, melalui proses argumentatif, tanpa merujuk kepada tuhan atau (banyak) tuhan atau konsep supernatural).[2]

Nurcholis Madjid berbicara dalam suatu diskusi dan tulisannya dimuat di salah satu surat kabar harian nasional. Menurutnya, sekularisasi berbeda dengan sekularisme. Sekularisasi diartikan sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi kuat ide pemisahan negara dan agama. Sedangkan sekularisme adalah suatu paham yang tertutup, suatu ideologi tersendiri dan lepas dari agama. Inti sekularisme ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini.[3]

Dalam kitab Nizham Al-Islam oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengungkapkan bahwa sekularisme adalah sebuah akidah yang memisahkan agama dari kehidupan, namun pada hakekatnya pengakuan secara tidak langsung akan adanya agama hanya sekadar formalitas belaka. Karena, sekalipun mereka mengakui eksistensinya, tetapi pada dasarnya mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Anggapan ini muncul ketika dinyatakan adanya pemisahan agama dari kehidupan, dan bahwasanya agama hanya sekadar hubungan antara individu dengan Penciptanya saja.[4]

Dari pemaparan di atas telah sangat jelas bahwa sesungguhnya sekularisme adalah cara memandang kehidupan tanpa agama (outside the religion), dalam definisi modern juga bisa dikatakan memisahkan agama dari kehidupan publik. Dalam dunia politik, sekularisme juga bisa dikatakan pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Dapat dilihat bagaimana keterkaitan agama dalam persoalan pemerintahan diabaikan dan diletakan pada aspek individual semata, konsekuensinya dengan melahirkan berbagai hukum sipil dan menggantikan hukum-hukum agama dengan dasar dapat melindungi hak-hak dengan menjunjung nilai-nilai moralitas. Dalam presfektif sosial-masyarakat, sekularisme dapat diidentifikasi dengan melihat masyarakat yang bebas  beragama tanpa ada sanksi legal dan sosial.

Sesungguhnya kemunculan sekularisme adalah dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh sistem pemerintahan agama (katolik). Berikut sejarahnya.
Sejarah Sekularisme

Awal munculnya pandangan ini adalah ketika terjadi konflik antara agama katolik dan para cendekiawan di eropa yang berlangsung pada abad pencerahan (enlightment ages) sekitar abad 16 sampai abad 17, yang sebelumnya dilalui oleh abad gelap (dark ages) yaitu sekitar abad ke 5 sampai dengan abad ke 15. Penyebutan abad gelap ini adalah karena begitu tak teraturnya masyarakat eropa pasca runtuhnya kekaisaran romawi (roman empire) pada tahun 410.[5]

Keruntuhan romawi ini mengakibatkan banyak sekali tuan-tuan tanah (landlords) yang mempunyai wilayah memisahkan diri menjadi suatu masyarakat tertentu, yaitu masyarakat feodal dengan feodalisme sebagai pandangan hidupnya. Disini strata masyarakat biasanya terbagi 6 yaitu bangsawan (landlords), ksatria (knights), rahib (clerics), prajurit (troops) cendekiawan (scholars) dan rakyat (people).[6]

Abad gelap ini juga sering disebut abad agama (age of faith) dikarenakan katolik yang dilegalkan menjadi agama negara pada tahun 391 sebelum romawi runtuh. Dikatakan abad agama juga karena besarnya peranan rohaniwan dalam negara, termasuk melegalisir para tuan tanah untuk mengeksploitasi rakyatnya, dan anggapan tuan tanah adalah wakil dari tuhan adalah umum dalam masa ini. Gereja membentuk doktrin untuk terus melanggengkan hubungan antara penguasa-rohaniwan ini, misalnya St. Augustine seorang uskup di kota Hippo (sekarang Annaba, Algeria) dalam bukunya City of God (413-426) menyatakan bahwa “seharusnya umat kristiani tidak perlu peduli dengan kejadian di duia tetapi fokus kepada penyelamatan (salvation) dan hidup setelah mati di dalam kota surgawi” (Rosenwain, 2005). Doktrin-doktrin semacamnya juga diberlakukan pada sains, misalnya teori geosentris yang dikemukakan oleh gereja yang ditentang oleh Nicolaus Copernicus dengan teori heliosentrisnya akhirnya berujung pada dianiayanya cendekiawan ini, begitu pula yang terjadi pada Galileo Galilei dengan teori bumi bulatnya. Dalam kemasyarakatan doktrin gereja berhak menentukan ajaran mana yang sesat (heretics) dan ajaran mana yang baik menurut mereka sendiri sehingga kejadian ini menimbulkan banyak sekali protes bagi rakyat sipil dan para cendekiawan. Keadaan ini terus berlanjut hingga abad ke 16.

Pada abad ke 17 dan 18 terjadi abad pencerahan (enlightment age) yang diawali oleh banyaknya pemikir dan cendekiawan yang melihat bahwa alasan terjadinya abad gelap adalah karena campur tangannya agama (katolik) dalam urusan negara, karena mereka memandang justru kemunduran yang sangat besar terjadi pada masa pemerintahan agama ini. Para kaum protestan pun menulis bahwa periode abad gelap adalah periode katolik yang terkorupsi sehingga tidaklah murni lagi.

Puncaknya terjadi pada masa renaissance (kelahiran kembali) dimana para pemikiran para cendekiawan dan rakyat biasa melawan kepada tuan tanah dan rahib, karena dinilai selama abad gelap agama dengan hak suci mereka (divine rights) telah menjadi sesuatu yang melegitimasi eksploitasi terhadap mereka oleh tuan tanah, dan menuntut agar agama tidak lagi dihubungkan dengan negara (sekular). Disinilah sekularisme lahir.
Setelah itu, para pemikir kemudian mengganti nilai-nilai serta standar-standar yang ada pada masyarakat agar jangan sampai mengambil kembali agama untuk diterapkan dalam masyarakat. Ide-ide derivat sekularisme inilah yang akhirnya mengejewantah dalam pemikiran yang lain yaitu liberalisme, pluralisme, kapitalisme dan akhirnya demokrasi.

Analisis Kronologi Sekularisme

Pertama, sekularisme bukan berasal dari Islam dan merupakan konsep produk masyarakat kristen Eropa, akibat konfrontasi berdarah antara Gerejawan dan Bangsawan. Kedua, tidak hanya sekularisme yang lahir pada saat itu, namun fundamentalisme dan radikalisme menjadi ciri khas dari pihak gerejawan. Ketiga, masyarakat Eropa mencapai kemajuan di segala bidang kehidupan setelah menyampingkan agama sebagai doktrin dalam mengatur tatanan masyarakat.

Pandangan Islam Terhadap Konsep Sekularisme

Islam adalah akidah aplikatif. Aqidah yang menghasilkan nizham (sistem) yang universal dan integral. Maka Islam sebagai qaidah fikriyah (kaidah berpikir) bagi penganutnya menjadikan realitas kehidupan menjadi objek yang harus dihukumi, termasuk di dalamnya berbagai konsep yang lahir diluar tsaqafah Islam.[7]
Pertama; Secara Historis, sebelum munculnya sekularisme, kondisi barat dipenuhi berbagai pertentangan. Pasalnya terjadi ke-tidakteraturan tatanan masyarakat di akibatkan dominasi doktrin gereja di segala sendi kehidupan, hal ini berlangsung dimulai abad ke 5-15 M. Namun di sisi lain sebuah peradaban ruhiyah yang ber-Ideologi Islam dengan waktu dan zaman yang sama membentang dari sebagian eropa (andalusi/spanyol) hingga daratan Balkan. Hal ini membuktikan bahwa secara historis Islam merupakan Qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) pada skala internasional, dengan kekuatan ideologi yang di milikinya. Islam tercatat menyatukan berbagai wilayah hingga 2/3 belahan dunia, pada saat itu Islam  tidak mengenal sekularisme apalagi mengemban dan menyebarkanya.

Kedua; secara Empiris, ketika runtuhnya ke-Khilafaan Turki Utsmani  th.1924 dan mengambil sekularisme sebagai ideologi yang memisahkan agama (Islam) dari kehidupan, bukannya Islam melanjutkan kemajuannya, namun Islam menjadi mundur.  Sehingga ada ungkapan ‘kemunduran dunia Islam ketika Islam ditanggalkan dan sebaliknya. Kemajuan dunia barat ketika agama kristen (doktrin gereja) di tinggalkan. Fakta berbicara, bahwa peradaban barat ternyata dimotori oleh peradaban Islam. Kemajuan berbagai sains dan teknologi di dunia barat dijembatani oleh keilmuan Islam.

Transformasi ilmu pengetahuan Islam ke dunia Barat dikemukakan oleh Mehdi Nakosteen, seorang penulis buku Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Diskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terbangun melalui dua cara. Pertama, melalui para mahasiswa dan cendekiawan Eropa Barat yang menimba ilmu di sekolah-sekolah tinggi ataupun universitas Islam di Spanyol. Kedua, melalui hasil karya cendekiawan Muslim yang berhasil diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa mereka sendiri.[8]
Ketiga; secara Normatif.

Syariat Islam telah mengharamkan sekularisme (QS. Al-Baqarah [2]:85). Allah berfirman:
 tbqãYÏB÷sçGsùr& ÇÙ÷èt7Î/ É=»tGÅ3ø9$# šcrãàÿõ3s?ur <Ù÷èt7Î/ 4 $yJsù âä!#t“y_ `tB ã@yèøÿtƒšÏ9ºsŒ öNà6YÏB žwÎ) Ó“÷“Åz ’Îû Ío4quŠysø9$# $u&lsqauo;÷R‘‰9$# ( tPöqtƒur ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# tbr–Štãƒ #’n<Î) Ïd‰x©r& É>#x&lsqauo;yèø9$# 3 $tBur ª!$#@@Ïÿ»tóÎ/$£Jtã tbqè=yJ÷ès?  

Terjemahannya:
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”

Ayat ini meskipun berkenaan dengan bani Israil (kaum Yahudi), namun ditujukan pula kepada kaum Muslimin disebabkan ke umumannya. Ketika perilaku mereka mengimani sebagian dari isi Taurat dan mengingkari sebagianya, padahal itu merupakan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah maka dalam hal ini, posisi umat Islam sama. Umat Islam yang hanya mengimani sebagian isi dari kitab suci al-Qur’an dan mengabaikan sebagiannya, maka ia telah kafir atau murtad dan melakukan pembangkangan terhadap ayat-ayat Allah.[9]
Sedangkan konsep sekularisme sabagai mazhab politik modern, yang mengatur tatanan masyarakat diluar agama dan hanya meletakan agama sebagai ajaran ritual belaka. Adalah hal yang keliru ketika konsep ini dialamatkan kepada ajaran Islam, karna akan mereduksi kesempurnaan dan ke universalan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Allah berfirman:
ôtPöqu&lsqauo;ø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3ø&lsqauo;n=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊu‘ur ãNä3s9 zN»n=ó™M}$# $YYƒÏŠ 4
Terjemahannya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS.Al-Maidah [5]: 3)

Terbukti hari ini ketika sekularisme mendominasi negeri-negeri kaum Muslimin di penjuru dunia, aktivitas pelaksanaan syari’at yang bersifat mu’amalah dalam hal ini, hudud, qishas, ta’zir dan aktivitas Jihad dan termasuk di dalamnya, sistem ekonomi Islam, Politik Islam, Pemerintahan Islam, dan Interaksi Sosial dalam Islam, tidak terleksana dengan sempurna, walaupun sebagian ada yang menerapkannya, namun tidak menyentu esensi dari ideologi sekularisme yang mencengkram kuat dan mengakar di negeri tersebut. Sehingga konsep ini bathil untuk diterapkan dan menyebarluaskannya di tubuh kaum Muslimin.

Islam telah melarang kaum Muslim meniru-niru serta mengikuti orang-orang kafir.
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”(HR. Abu Dawud)

“sesunggunya kalian akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga ketika mereka masuk dalam lubak biawak sekalipun, kalian akan mengikuti. Kami bertanya: “apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab: “lalu siapa (kalau bukan mereka)”. (HR. Bukhari)

“Tidak termasuk golongan kami orang yang meniru-niru selain kami”(HR. Abu Dawud)
Hadits tersebut telah cukup menguatkan argumentasi Islam kepada kaum Muslimin untuk tidak mengambil sekularisme sebagai Ideologi mereka. Pasalnya, sekularisme sebagaimana telah di singgung di awal, bahwa konsep tersebut bukan bagian dari tsaqafah Islam, ia lahir bukan atas kepentingan ajaran Islam, namun konsep tersebut lahir akibat perselingkuhan gerejawan dan bangsawan untuk merumuskan konsep tatanan baru dalam mengatur masyarakat.
Maka ketika konsep ini bagian dari umat tertentu dan tidak impersonal, maka umat Islam telah mengikut dan meniru-niru jejak mereka yaitu kaum tertentu (Yahudi dan Nashrani) ketika konsep sekularisme diemban dan disebarluaskan, sehingga konsekuensinya ia tidak tergolong umat Rasulullah Saw.
Mengikuti disini memiliki konotasi umum, bisa berupa aspek peribadahan, akidah, dan ritual keagamaan, bisa juga mengikuti berbagai konsep yang lahir dari ideologi tertentu, yaitu Sekularisme-Kapitalisme dan Dialektika-materialisme (sosialis-kumunis) maka kemudian haram bagi kaum Muslimin mengambil konsep sekularisme dan seperangkat aturan yaang lahir darinya.

Konsep Pluralisme

Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Selanjutnya akan penulis uraikan hakikatnya dari beberapa pandangan.

Hakikat Pluralisme

In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation Pluralism also implies the right of individuals to determine universal truths for themselves. Retrieved from” (Pada ilmu sosial, Pluralisme adalah kerangka aktivitas interaksi dimana suatu kelompok menunjukkan rasa hormat yang baik dan toleransi satu samalain, mereka saling mengakui dan berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Pluralisme juga bahwa individu-individu mempunyai hak untuk memutuskan “kebenaran universal” untuk mereka).[10]
Pluralisme merupakan  mazhab pemikiran yang berisikan sifat pertengahan (moderat/adil), keseimbangan, juga memiliki sisi yang eksrem, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan.[11] Dapat juga dikatakan pluralisme adalah paham yang menganggap semua agama adalah sama dan kebenaran semua agama relatif, tergantung dari mana ia dipandang.[12]

Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.[13]

Pluralisme dapat juga artikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain, Dan kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.[14]

Maka dapat disimpulkan, plurlisme merupakan paham yang menghilangkan kebenaran agama secara mutlak dalam kehidupan publik dan menyamaratakan kebenaran agama semua sama, hal ini sebagai upaya mengatasi terjadinya konflik atas nama agama, kebudayaan, peradaban dll. Indikator keberhasilan konsep ini ketika kehidupan masyarakat hidup tanpa perselisihan atas nama agama, dan secara filosofi ketika agama sekedar ritualitas yang tidak berdampak apapun terhadap kehidupan publik, kecuali hanya sebatas individual semata.

Sejarah Pluralisme

Secara historis paham sekularisme berasal dari kaum kristen, pada tahun 1527 M di paris terjadi peristiwa yang disebut The St. Barthalomens Day’s Massacre. Dimana dalam peristiwa ini meneswakan 10.000 jiwa protestan yang dibantai oleh kaum Katolik. Berangkat dari peristiwa itulah terjadi reaktualisasi atau revisi Teologi Katolik Konsili Vatikan II yang dipelopori oleh Friedrich Schleiremacher (1962-1965 M), dimana sebelumnya diyakini “Tidak ada keselamatan di luar Gereja”, lalu keyakinan itu diubah menjadi “Keselamatan dan Kebenaran itu bisa saja diluar Gereja” yakni diluar agama katolik dan protestan.[15]

Atas dasar inilah konsep pluralisme lahir dan dikembangkan oleh bangsa Eropa. Di antara pernyataan mereka menyatakan bahwa semua agama selalu mengandung elemen kebenaran; tidak ada satupun agama yang memiliki kebenaran mutlak, konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.[16]
Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini masih senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad ke -20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.[17]

Ide pluralisme ini kemudian berkembang secara khusus di negeri-negeri Islam termasuk di Indonesia. Fazlur Rahman salah satu tokoh pluralisme pakistan yang menetap di AS dan menjadi guru besar di Universitas Chicago, ia menjadi Guru bagi kebanyakan tokoh pluralisme di Indonesia ketika mengajarkan mata kulia perbandingan agama di Chicago, kemudian ide ini dipropagandakan ke perguruan-perguruan tinggi di Indonesia hingga menyebar ke pondok-pondok pesantren.

Konsep Pluralisme menurut Kaum Pluralis

Dalam mengajarkan gagasan ini mereka sering mengumpamakan agama dengan tiga orang buta yang menjelaskan tentang bentuk gajah. Ketiga orang buta itu diminta untuk memegang gajah, ada yang memegang telinganya, ada yang memegang kakinya, dan ada yang memegang belalainya. Setelah mereka semua memegang gajah, lalu mereka bercerita satu sama lain; yang memegang belalai mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa, yang memegang telinganya berkata bahwa gajah seperti kipas yang lebar dan kaku. Yang memegang kaki mengatakan bahwa gajah seperti pohon besar yang kokoh.

Dengan berpijak pada cerita tersebut lalu mereka mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bagi para penggiat pluralisme dari kalangan kaum muslimin mereka pun menyitir ayat-ayat yang mengandung gagasan pluralisme. Di antara ayat yang sering mereka sitir adalah;

¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3“t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöqu&lsqauo;ø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur$[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& y‰YÏã óOÎgÎn/u‘ Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRt“øts† ÇÏËÈ  
  
Terjemahannya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh,  mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah:85)

¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd tbqä«Î6»¢Á9$#ur 3“t»|Á¨Y9$#ur ô`tB šÆtB#uä «!$$Î/ ÏQöqu&lsqauo;ø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur$[sÎ=»|¹ Ÿxsù ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRt“øts† ÇÏÒÈ  
Terjemahannya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Maidah:69)

Dan firman Allah SWT.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd tûüÏ«Î7»¢Á9$#ur 3“t»|Á¨Y9$#ur }¨qàfyJø9$#ur tûïÏ%©!$#ur (#þqà2uŽõ°r& ¨bÎ) ©!$# ã@ÅÁøÿtƒóOßgoY÷t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä.&äóÓx« î‰&lsqauo;Íky­

Terjemahannya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (QS. Al-Hajj : 17)

Ayat tersebut merupakan dalil bagi konsep prulisme untuk mendapatkan  pengakun dari Islam dan sebagai justifikasi kesetaraan semua agama, walaupun konsep ini bukan berasal dari Islam, namun dengan ayat ini menurut kaum pluralis telah cukup bahwa Islam mengakui kebenaran diluar agama Islam.

Bantahan Islam Terhadap Konsep Pluralisme

Berikut akan penulis paparkan bagaimana Islam memandang konsep pluralisme dilihat dari sisi normatif.
Pertama; Dilihat dari aspek penjelasan ayat diatas (al-Baqarah:62), oleh tafsir Jalalain, al-‘Alamah Syekh Ahmad ash-Shawy al-Maliky rh, menegaskan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan orang-orang Mukmin yang beramal shaleh yang hidup sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw., seperti pendeta Buhaira, Abu Dzar Al-Ghifari, Waraqa Ibnu Nawfal, Salman Al-Farisy, Qass Ibn Sa’idah, dll. Mereka beriman kepada Nabi Isa as., dan tetap berpegang teguh pada keimanannya hingga sampai datangnya Nabi Muhammad Saw., maka mereka yang tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad saw., dan berpegang teguh pada keyakinan mereka terhadap kitab Injil dan Taurat maka mereka telah kafir.[18]

Maka dari penjelasan ayat tersebut tidak memberikan arti bahwa keimanan orang Yahudi dan Nashrani mendapatkan pengakuan dari Islam.

Kedua; Secara normatif Islam adalah agama yang diakui dan diridhai oleh Sang Maha Pencipta., sebagaimana firmannya:
¨bÎ) šúïÏe$!$# y‰YÏã «!$# ÞO»n=ó™M}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) .`ÏB ω÷èt/ $tB ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $J&lsqauo;øót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$#  cÎ*sù ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$#

Terjemahannya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” (QS. Ali-Imran : 19)
               
Ketiga; Islam adalah agama yang universal yang diturunkan untuk seluruh manusia, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Saba[34]:28
!$tBur y7»oYù=y™ö‘r& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉ&lsqauo;tRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ

Terjemahannya: 
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”

Firman Allah berikutnya dalam QS. Al-Anbiya:107
!$tBur š»oYù=y™ö‘r& žwÎ) ZptHôqy‘ šúüÏJn=»yèù=Ïj9  

Terjemahannya:
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
Dari sejumlah ayat tersebut di atas sesunggunya Allah swt., telah menetapkan bahwa Nabi Muhammad saw., adalah utusan untuk seluruh manusia. Oleh karnanya manusia berkewajiban menaati dan mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah saw., baik mereka adalah Yahudi, Nashrani,Majusi dll.

Keempat; Orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi, Budha, dan Hindu adalah orang-orang kafir, berikut firman Allah terhadap kekafiran mereka.
óOs9 Ç`ä3tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr&É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#ur tûüÅj3xÿZãB 4Ó®Lym ãNåkuŽÏ?ù's? èpuZÉit7ø9$# .   ×Aqß™u‘ z`ÏiB «!$# (#qè=÷Gtƒ $ZÿçtྠZot£gsÜ•B  
Terjemahannya:
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata., (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran),” (QS. Al-Bayyina:1-2)

Para mufassir telah mengemukakan bahwa yang dimaksud ahli kitab ialah orang-orang Nashrani dan Yuahudi. Sedangkan yang dimaksud orang-orang musyrik ialah para penyembah patung.[19]
Juga Allah berfirman
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr&É=»tGÅ3ø9$# tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#ur ’Îû Í‘$tR zO¨Yygy_ tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù 4 y7Í´¯»s9'ré& öNèd •ŽŸ° Ïp­ƒÎŽy9ø9$#


Terjemahannya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”(QS. Al-Bayyina: 6)
ô‰s)©9 txÿŸ2 tûïÏ%©!$# (#þqä9$s% žcÎ) ©!$# ß]Ï9$rO 7psW»n=rO ¢ $tBur ô`ÏB >m»s9Î) HwÎ) ×m»s9Î) Ó‰Ïnºur 4
Terjemahannya:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa..,” (QS. Al-Maidah:73)

$¨B –Šuqtƒ šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr&É=»tGÅ3ø9$# Ÿwur tûüÏ.ÎŽô³çRùQ$# br& tA¨”t\ムNà6ø&lsqauo;n=tæ ô`ÏiB 9Žöyz `ÏiB öNà6În/§‘ 3

Terjemahannya: 
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu..,” (QS. Al-Baqarah : 105)

Maka dengan menyelami ayat-ayat al-Qur’an di atas, maka orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang Musyrik adalah orang-orang kafir. Sebagaimana kesepakatan para mufassirin.
Secara historis pluralisme lahir sebagai benteng pertahanan ideologi sekularisme, untuk menjaga cengkraman ideologi tersebut terhadap negeri-negeri Islam. Sehingga dapat kita memahami bahwa konsep yang terbangun dari akidah sekularisme, sesunggunya sarat atas kepentingan, bukan sebagai realisasi ajaran Islam yang konfrehensif dalam kehidupan manusia.

Kesimpulan

Didalam KBBI sekularisme ialah paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Dalam kitab Nizham Al-Islam oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengungkapkan bahwa sekularisme adalah sebuah akidah yang memisahkan agama dari kehidupan, namun pada hakekatnya pengakuan secara tidak langsung akan adanya agama hanya sekadar formalitas belaka. Awal munculnya pandangan ini adalah ketika terjadi konflik antara agama katolik dan para cendekiawan merupakan abad gelap (dark ages) yaitu sekitar abad ke 5 sampai dengan abad ke 15. Pada abad ke 17 dan 18 terjadi abad pencerahan (enlightment age) yang diawali oleh banyaknya pemikir dan cendekiawan bangkit melawan hegemoni diktrin gereja dan merumuskan konsep tatanan baru yaitu sekularisme. Sedangkan Islam membanta sekularisme melalui argumentatif berikut:
Pertama; secara historis Islam merupakan Qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir)  pada skala internasional, dengan kekuatan ideologi yang di milikinya. Islam tercatat menyatukan berbagai wilayah hingga 2/3 belahan dunia, pada saat itu Islam  tidak mengenal sekularisme apalagi mengemban dan menyebarkanya. Kedua; secara Empiris, ketika runtuhnya ke-Khilafaan Turki Utsmani  th.1924 dan mengambil sekularisme sebagai ideologi yang memisahkan agama (Islam) dari kehidupan, bukannya Islam melanjutkan kemajuannya, namun Islam menjadi mundur. Ketiga; secara normatif tercantum dalam QS. Al-Baqarah [2]:85, yang mengacam mereka yang memilah-milah ajaran Islam.

Pluralisme merupakan  mazhab pemikiran yang berisikan sifat pertengahan (moderat/adil), keseimbangan, juga memiliki sisi yang eksrem, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Dapat juga dikatakan pluralisme adalah paham yang menganggap semua agama adalah sama dan kebenaran semua agama relatif, tergantung dari mana ia dipandang. Islam pun membantah konsep ini dengan beberapa argumentatif secara normatif diantaranya: Islam adalah agama yang diridhai Allah SWT., (QS. Ali-Imran:19), Islam adalah agama yang sempurna (QS. Al-Anbiya:107), Islam telah mengkafirkan mereka yang tidak mengikuti dan meyakini ajaran yang di bawa oleh Rasulullah saw., apakah mereka Yahudi, Nashrani, Majusi dan kaum Musrikin (QS. Al-Maidah:73 dan QS. Al-Baqarah : 105).


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz Diskursus Islam Politik dan Spritual, Cet. IV; Al-Azhar Press:Bogor, 1433 H/2012 M
Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Terj.,Cet. I; Algesindo: Bandung, 2000.
An-Nabhani, Taqiyuddin Nihzam al-Islam, Cet . XII; Hizbut Tahrir: Jakarta Selatan.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Kepribadian Islam, Terj. Cet.I; Hizbut Tahrir Indonesia:Jakarta Selatan, 2007
Al-Maliky, Ahmad ash-Shawy, Tafsir Jalalain
Buletin Dakwah Al-Islam, Bahaya Pluralisme, Ed. 488, Hizbut Tahrir Indonesia, 2010.
Mustafa al-Maragi, Ahmad Tafsir al-Maragi, Terj.,Cet. II; CV. Putra Thaha: Semarang, 1992.
Romli Abu Wafa, Rekontruksi Doktrin Pemikiran dan Politik ASWAJA, Cet. I; Bogor: Al-Azhar Presh Zone, 2012
Tom Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit GITA Media Press.
Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralita, Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai persatuan, Cet. I; Jakarta: GEMA INSANI, 1999 
..............................
Sumber Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism, diakses pada 4 Januari 2016.
http://www.kompasiana.com/mamattew/kontribusi-islam-dalam-sejarah peradaban-barat_5529acaa6ea8343c4f552cf7, diakses pada 6 Januari 2016
http://en.wikipedia.org/wiki/Pluralism di akses pada 6 Januari 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme, di akses pada 8 januari 2015


[1] Tom Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit GITA Media Press. h. 851
[2] Lihat., http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism, diakses pada 4 Januari 2016.
[4] Taqiyuddin an-Nabhani, Nihzam al-Islam, (Cet . XII; Hizbut Tahrir: Jakarta Selatan), h. 53
[5] Romli Abu Wafa, Rekontruksi Doktrin Pemikiran dan Politik ASWAJA, (Cet. I; Bogor: Al-Azhar Presh Zone, 2012), h. 186
[7]Tsaqafah Islamiyyah adalah pengetahuan yang dibangun berdasarkan Akidah Islam. Jika asasnya bukan dari Islam, maka staqafah tersebut bukan staqafah Islam. Contoh staqafah Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits serta pengetahuan yang berkaitan dengan kedua nas tersebut, seperti Ushul Tafsir, Ilmu Tajwid, Ilmu Sabab Nuzul, Tafsir al-Qur’an, Ushul Hadits Ilmu Sabab Wurud al-Hadits, Sirah Rasul dan Sahabat, Ilmu Ushul Fiqhi,Ilmu Fiqhi, serta Ilmu Bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharf, Balagha dan sebagainya. Sedangkan Filsafat Islam yang berkembang di dunia saat ini, tidak termasuk dalam tsaqafah Islam. Lihat, Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spritual, (Cet. IV; Al-Azhar Press:Bogor,1433 H/2012 M) h. 289. Lihat juga, Taqiyuddin an-Nabhani, Kepribadian Islam, Terj. (Cet.I; Hizbut Tahrir Indonesia:Jakarta Selatan, 2007), h. 386
[9] Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Terj.,(Cet. II; CV. Putra Thaha: Semarang, 1992), h. 294
[10] Lihat., http://en.wikipedia.org/wiki/Pluralism di akses pada 6 Januari 2016.
[11] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralita, Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai persatuan, (Cet. I; Jakarta: GEMA INSANI, 1999), h. 10 
[12] Romli Abu Wafa, Rekont ruksi Doktrin Pemikiran dan Politik ASWAJA., op.cit, h. 333
[13] Lihat., https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme, di akses pada 8 januari 2015
[14] Buletin Dakwah Al-Islam, Bahaya Pluralisme, (Ed. 488, Hizbut Tahrir Indonesia, 2010), h. 1
[15] Romli Abu Wafa, Rekont ruksi Doktrin Pemikiran dan Politik ASWAJA., op.cit, h. 333
[16] Ibid., h. 334
[18] Ahmad ash-Shawy al-Maliky, Tafsir Jalalain
[19] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Terj.,(Cet. I;Algesindo: Bandung, 2000).

Related Posts:

0 Response to "Konsep Sekularisme dan Pluralisme dalam Presfektif Islam"

Post a Comment