Pendahuluan
Semakin maju zaman, maka otoritas intlektual Umat Islamsemakin luas.Pengkajian terhadap ilmu-ilmu oleh para cendekiawan Muslim terhadap sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, menjadi pemicu lahirnya pemikiran yang berasaskan Islam itu sendiri dengan iterpretasi yang beragam. Kelahiran beragam ilmu-ilmu dalam Islam, tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang serta tujuan ilmu tersebut dilahirkan, di sisi lain untuk menjawab problematika yang dihadapi manusia dalam meraih tujuannya.
Memasuki generasi Umat Islam pasca Sahabat ra yaitu para tabi’in dan tabi’in tabi’ut, lahirlah pengklasifikasian ilmu-ilmu Islam, yang dilakukan oleh cendekiawan-cendekiawan Muslim diantaranya, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqhi, Ilmu Kalam, bahasa Arab (Ilmu Nahwu, Balagha)Tariq Nabi maupun Ilmu yang dihasilkan melalui ekspremental yaitu Ilmu Eksakta seperti fisika, kimia, matematika, kedokteran, perbintangan serta ilmu strategi perang dll. Kelahiran beragam ilmu tersebut di latarbelakangi oleh tabiat ajaran Islam yang cukup dinamis sesuai dengan zaman dan waktu; mengajak pemeluknya untuk berfikir dan memahami alam semesta dan seisinya.
Meluasnya wilayah kekuasaan Islamyang meliputi 2/3 belahan dunia adalah sebab meluasnya pula otoritas intelektual Umat Islam.Serta dalam wilayah inilah menjadi sentral dituangkannya Ilmu-ilmu dan pusat perdebatan demi untukmengantarkan umat manusia pada peradaban yang mulia. Dan hal yang sangat mempengaruhi lahirnya tsaqafah-tsaqafah[1]Islam tersebut adalah lahirnya generasi-generasi Islam dimana Rasulullah saw. tidak berada di tengah-tengah mereka sebagai Narasumber untuk menjawab setiap permasalahan yang timbul, sehingga menjadikannya untuk ber-ijtihatdan menafsirkan serta menyusun kaidah-kaidah dalam meraih ilmu sesuai kemampuan dan disiplin Ilmunya terhadap bidang tertentu.
Dari hal tersebut, lahirlah Ilmu Hadits sebagai bagian dari perkembangan tsaqafah-tsaqafah Islamiyyah yaitu sebagai respon para Ulama Hadits (muhandistsin) terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan. Di sisi lain, sebagai alat bagi para pengkaji hadits untuk memudahkan dalam mempelajari dan menjaga kualitas serta kuantitas hadits Rasulullah Saw dan kemurniannya.
Walaupun telah menyebar dan berkembangnya ilmu Hadits ditengah-tengah kaum Muslimin, namun seringkali kita menemuka perbedaan di dalam kitab-kitabnya. Tapi pada hakikatnya semua hal tersebut mengarah pada tujuan yang sama, dan perbedaan tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh latar belakang disiplin ilmu mereka.
Khusus bagian dari pembahasan Ilmu Hadits adalah al-Asbab al-Wurud, yang menjadi pokok pembahasan pada makalah ini. Ilmu ini merupakan bagian terpenting untuk mempelajari hadits Rasulullah saw dalam hal Interpretasi dan mengetahui kandungan yang dikandung dalam sebuah hadits serta memprotektif (membatasi) intrepertasi asing yang masuk dalam penafsiran hadits tersebut. Atau dengan kata lain, Pembahasan mengenai sebab-sebab keluarnya hadits, merupakan salah satu pokok-pokok bahasan dari ilmu hadits yang berkaitan dengan matan, ia juga merupakan salah satu jenis dari ilmu hadits yang khusus membahas dirayah, yang mencakup sanad dan matan. Dimana ia didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat kebenaran suatu riwayat, syarat-syaratnya, jenis-jenisnya, hokum-hukumnya, juga keadaan perawi beserta syarat-syarat mereka, dan klasifikasi yang telah diriwayatkan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Semakin maju zaman, maka otoritas intlektual Umat Islamsemakin luas.Pengkajian terhadap ilmu-ilmu oleh para cendekiawan Muslim terhadap sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, menjadi pemicu lahirnya pemikiran yang berasaskan Islam itu sendiri dengan iterpretasi yang beragam. Kelahiran beragam ilmu-ilmu dalam Islam, tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang serta tujuan ilmu tersebut dilahirkan, di sisi lain untuk menjawab problematika yang dihadapi manusia dalam meraih tujuannya.
Memasuki generasi Umat Islam pasca Sahabat ra yaitu para tabi’in dan tabi’in tabi’ut, lahirlah pengklasifikasian ilmu-ilmu Islam, yang dilakukan oleh cendekiawan-cendekiawan Muslim diantaranya, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqhi, Ilmu Kalam, bahasa Arab (Ilmu Nahwu, Balagha)Tariq Nabi maupun Ilmu yang dihasilkan melalui ekspremental yaitu Ilmu Eksakta seperti fisika, kimia, matematika, kedokteran, perbintangan serta ilmu strategi perang dll. Kelahiran beragam ilmu tersebut di latarbelakangi oleh tabiat ajaran Islam yang cukup dinamis sesuai dengan zaman dan waktu; mengajak pemeluknya untuk berfikir dan memahami alam semesta dan seisinya.
Meluasnya wilayah kekuasaan Islamyang meliputi 2/3 belahan dunia adalah sebab meluasnya pula otoritas intelektual Umat Islam.Serta dalam wilayah inilah menjadi sentral dituangkannya Ilmu-ilmu dan pusat perdebatan demi untukmengantarkan umat manusia pada peradaban yang mulia. Dan hal yang sangat mempengaruhi lahirnya tsaqafah-tsaqafah[1]Islam tersebut adalah lahirnya generasi-generasi Islam dimana Rasulullah saw. tidak berada di tengah-tengah mereka sebagai Narasumber untuk menjawab setiap permasalahan yang timbul, sehingga menjadikannya untuk ber-ijtihatdan menafsirkan serta menyusun kaidah-kaidah dalam meraih ilmu sesuai kemampuan dan disiplin Ilmunya terhadap bidang tertentu.
Dari hal tersebut, lahirlah Ilmu Hadits sebagai bagian dari perkembangan tsaqafah-tsaqafah Islamiyyah yaitu sebagai respon para Ulama Hadits (muhandistsin) terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan. Di sisi lain, sebagai alat bagi para pengkaji hadits untuk memudahkan dalam mempelajari dan menjaga kualitas serta kuantitas hadits Rasulullah Saw dan kemurniannya.
Walaupun telah menyebar dan berkembangnya ilmu Hadits ditengah-tengah kaum Muslimin, namun seringkali kita menemuka perbedaan di dalam kitab-kitabnya. Tapi pada hakikatnya semua hal tersebut mengarah pada tujuan yang sama, dan perbedaan tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh latar belakang disiplin ilmu mereka.
Khusus bagian dari pembahasan Ilmu Hadits adalah al-Asbab al-Wurud, yang menjadi pokok pembahasan pada makalah ini. Ilmu ini merupakan bagian terpenting untuk mempelajari hadits Rasulullah saw dalam hal Interpretasi dan mengetahui kandungan yang dikandung dalam sebuah hadits serta memprotektif (membatasi) intrepertasi asing yang masuk dalam penafsiran hadits tersebut. Atau dengan kata lain, Pembahasan mengenai sebab-sebab keluarnya hadits, merupakan salah satu pokok-pokok bahasan dari ilmu hadits yang berkaitan dengan matan, ia juga merupakan salah satu jenis dari ilmu hadits yang khusus membahas dirayah, yang mencakup sanad dan matan. Dimana ia didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat kebenaran suatu riwayat, syarat-syaratnya, jenis-jenisnya, hokum-hukumnya, juga keadaan perawi beserta syarat-syarat mereka, dan klasifikasi yang telah diriwayatkan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Pembahasan
Pengertian, Kegunaan dan Latar Belakang Pentingnya Ilmu Asbab Wurud
Asbab Wurud al-Hadits merupakan susunan idafah, yang terdiri dari tiga unsur kata, yatu asbab, wurud dan al-Hadits. Sabab merupakan bentukmufrad (tunggal)Sedangkan bentuk jam’ (flural)nya adalah asbab. Sababberarti al-halb (tali) “saluran” artinya segala yang menghubngkan suatu benda dengan benda yang lainnya, sedangkan menurut istilah segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.[2]Sementara dalam Lisan Al-‘Arab disebutkan bahwa sabab secara bahasa adalah hadzil (ekor).Ia diartikan sebagai ‘segala sesuatu yang menyambungkan sesuatu kepada yang lainnya’[3]Ada juga yang mendefinisikan: suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu.
Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir atau “datang” dan “tiba”.;أَلْمَاءُأَلَّذِيْيُوْرِدُ “Air yang memancar, atau air yang mengalir”[4].
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan arti asbab al-wurud sebagaimana uraian di atas ialah ‘sebab-sebab datangnya sesuatu’. Karna istila ini – asbab al-wurud – dipergunakan dalam ilmu hadits maka dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang munculnya suatu hadits.[5]
Namun ada perbedaan di kalangan ulama, terkait pendefinisian istilah ini.Diungkapkanoleh as-Syuthi dalam kitabnya asbab wurud al-Hadits (terjemahan) “suatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud dari sebuah hadits, dari segi khusus dan umum, mutlaq dan muqayyad dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits dan sejenisnya”[6]
Sejalan dengan itu, Hasbi ash-Shiddieqy mengemukakan bahwaasbab wurud al-Hadits ialah ‘ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu’[7]
Sementara itu, Thariq As’ad mendefinisikan asbab wurud al Hadits dengan ungkapan redaksi yang berbeda namun subtansinya sama, yaitu ‘mengetahui apa yang terjadi pada hadits pada saat penyusunan penjelasan hokum saat terjadinya.
Sehingga Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag menyimpulkan, bahwa asbab wurud al-Haditsadalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang lainnya yang terjadi pada saat hadits tersebut disabdakan oleh Nabi saw. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analis untuk menentukan apakah hadits tersebut bersifat khusus, umum, mutlak atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.[8]
Dengan demikian, dalam prespektif ini , untuk mengetahui asbab wurud al-Hadits bukanlah tujuan/gayah, melainkan sebagai sarana atau wasilahdalam menetapkan makna dan pesan moral; tujuan serta batasan (protektif) yang terkandung dalam hadits tersebut.[9]
Sehingga penulis berkesimpulan dari uraian di atas, secara sederhana, bahwa asbab wurud al-Hadits merupakan sebab-sebab yang mendorong Nabi saw. dalam mengeluarkan sabdanya sesuai konteks peristiwa atau realitas yang di hadapi oleh Nabi Saw, sehingga menjadi saranah (wasilah) bagi para muhadisin untuk memahami hadits berikut makna dan tujuannya;apakah bersifat khusus, umum, mutlak dan muqayyad dll.
Adapun kegunaan dari sabab wurud ini, telah disinggung sedikit dari uraian di atas, bahwa untuk memahami hadits dari segi historis dan pesan moral yang dikandungnya serta menentukan maksud dari nash adalah memahami sebab di keluarkannya hadits tersebut. Sehingga dapat pula diklasifikasikan sebagai berikut.
Takhshish al-‘Am (mengkususkan yang Umum)[10]
Para ahli Usul mendefinisikan bahwa takhshish adalah membatasi yang umum untuk sebagian orang saja, dan dapat dijadikan hokum untuk banyak orang. Sebagaimana hadits:
“Shalat orang yang duduk adalah setengah dari shalat orang yang berdiri”
Hal ini adalah umum untuk semua orang yang mendirikan shalat. Namun ketika melihat sebab keluarnya hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amru, dia berkata “kami sampai kemadina, maka kami mendapati wabah penyakit yang berat di madina. Pada waktu itu orang-orang melakukan shalat dalam pakaian kulit mereka dengan keadaan duduk. Kemudian Rasulullah saw keluar menuju ke al-Hajirah sementara mereka sedang melakukan shalat dalam pakaian kulit mereka dengan keadaan duduk. Maka Rasulullah Saw bersabda: “Shalat orang yang duduk adalah setengah dari shalat orang yang berdiri.” ‘Abdullah bin ‘Amru berkata: “maka orang-orang bangkit untuk berdiri pada saat itu dengan susah payah”.
Hal ini menerangkan bahwa maknanya khusus bagi orang yang berkemampuan mengerjakan perintah dalam keadaan berdiri. Dikukuhkan lagi dengan riwayat Muslim dari Jabir bin Samurah: bahwa Rasulullah saw tidak meninggal hingga beliau mengerjakan shalat dengan duduk. Atau hadits dari ‘Aisyah, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw dalam keadaan lemah dan berat, beliau banyak melakukan shalat dengan duduk.
Taqyid al-Muthlaq (membatasi yang Mutlak)
Para ahli Ushul fiqh mendefinisikan al-Mutlaq dengan apa-apa yang menunjukan pada sesuatu hal tanpa keterikatan (qaid), atau tanpa ada pengecualian pada sifat-sifatnya.[11] KH Hafidz Abdurrahman, al-Mutlaq adalah setiap lafadz yang menunjukan madlul (maksut) yang meliputi semua jenisnya.[12] Al-‘Amidi berpendapat: “ia merupakan sesuatu yang tidak tentu dan ia mendekati sifat umum”.
Hal tersebut sebagaimana hadits.
“Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dan dikerjakan oleh orang-orang setelahnya, maka baginya pahalanya, dan seperti pahala mereka dengan tampa mengurangi sesuatupun dari pahala mereka. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang buruk, kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya, maka baginya dosanya dan seperti dosa mereka tanpa mengurangi sesuatupun dari dari dosa mereka”
Sunnah dengan kedua sifatnya hasanah dan sayyi’ah masih bersifat mutlak. Mencakup apa yang mempunyai ushul dalam agama Allah dan apa yang tidak mempunyai ushul dalam agama Allah. Sehingga melihat asbab wurud-nya maka maksud dengan sunnah di sini adalah perbuatan yang mempunyai ushul dalam agama Allah.
Tafshil al-Mujmal (merinci hal yang masih global)
Para ahli Ushul fiqh mendefinisikan mujmal sebagai apa-apa yang belum jelas dalalahnya,[13]sebagaimana KH Hafidz Abdurrahman mendefinisikan bahwa sesuatu yang menunjukan lebih dari satu madlul (maksud), tanpa adanya pengistimewaan satu dengan yang lainnya, ketika madlul-nya memerlukan penjelasan.[14]
Dalam riwayat Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat. Sesunggunya hal ini dari segi konteksnya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan sebagian besar apa yang dikatakan oleh para ulama mengenai emapat kali takbir dan dua kali dalam iqamat. Akan tetapi dating sebab-sebab hadits yang di keluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya dalam menerangkan tata caranya.Melihat hadits yang menerangkan seruan adzan dan iqamah oleh bilal masih global, maka asbab wurud dating dan menerangkan kejadian yang sebenarnya.Sehingga inilah menjadi dasar yang dijadikan jumhur ulama mengenai empat kali takbir dalam adzan dan dua kali takbir dalam Iqamah.
Menentukan perkara nasakh dan menerangkan Mana Nasikh dan Mansukh[15]
Nasahk secara sederhana adalah menghilangkan atau memindahkan sesuatu dan mengalihkannya dari satu kondisi pada kondisi lain, sementara itu ia tetap tidak berubah. Atau dengan kata lain mengangkat (mengganti/menghapus) hokum syar’i dengan pernyataan, atau mengangkat hokum syar’I dengan dalil syar’I lainnya.
Keterangan Alasan dari Suatu Hukum (ilah)[16]
Sebagaimana dalam sebuah hadits tentang larangan Rasulullah saw minum dari bibir siqa’ (kantong air dari kulit).Dengan melihat sebab di keluarkannya hadits ini ialah ada seorang laki-laki yang minum dari bibr siqa, maka ikut mengalir pula ular kedala perutnya. Maka Rasulullah saw melarang menenggak air langsung dari kantong-kantong air.
Memperjelas Hal yang Tidak Jelas.[17]
Hal ini dapat dilihat hadits Rasulullah saw
“Barangsiapa yang dibahas oleh hisab pada hari kiamat maka ia disiksa”
Dengan melihat sebab dari hadits ini, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw Bersabda “barangsiapa diperiksa pada hari kiamat, niscata dia akan disikasa”. Maka aku (‘Aisyah) berkata: “Bukankah Allah berfirman “maka dia akan dipriksa dengan pemeriksaan yang mudah” maka beliau bersabda: Bukan Hisab yang itu. Akan tetapi pembeberan.Maka barangsiapa yang dibahas oleh hisab maka dia disiksa.”
Dengan demikian asbab wurud memiliki peranan pentinguntuk menolong, memahami dan menafsirkan al-hadis.Sebab untuk mengetahui tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan sarana untuk mengetahui musabbab (akibat)-nya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadis secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar belakang; Nabi saw mengeluarkan sabdanya.
Implikasi dan akibat adanya hadits Nabi Saw yang memiliki Sabab Wurud
Asbab wurud al-Hadits Asbab wurud al-Hadits mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka untuk memahami hadits. Sebab,biasanya hadits Rasulullah saw bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal. Oleh karnanya memperhatiakan konteks historis munculnya suatu hadits adalah suatu keniscayaan, untuk menghindari kesalapahaman dalam menangkap maksud suatu hadits, sehingga tidak mengacu teksnya saja, sementara konteksnya terabaikan. Akibatnya, pemahamannya akan cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kurang akomoditif terhadap perkembangan zaman.
Salah satu implikasi asbab dalam memahami suatu hadits, adalah dapat mencegah hadits yang tampak bertentangana antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karna memahami asbab terjadinya suatu hadits merupakan sarana (wasilah) untuk mengetahui musabbab (akibat)[18]
Sebagai contoh Hadits “Mandi pada hari jum’at hukumnya wajib bagi setiap orang balig” Hadits tersebut mempunyai sebab kasus, pada waktu itu ekonomi sahabat Nabi saw pada umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga pada hari jum’at, cuaca panas dan mesjid masih sempit, tiba-tiba aroma keringat dari orang yang memakai baju wol kasar dan tidak mandi itu menerpa hidung Nabi yang sedang khutbah. Nabi saw kemudian bersabda sebagaimana hadits di atas. Dengan demikian hokum mandi ketika akan melaksanakan jum’at di sesuaikan dengan kondisi. Hal tersebut diperkuat oleh hadits Nabi saw yang menyatakan cukup dengan wudhu’ saja ke Mesjid pada hari jum’at, namun jika mandi itu lebih baik.[19].
Cara untuk Mengetahui suatu Hadits yang memiliki Sabab Wurud beserta Contohnya.
Cara mengetahui asbab wurud al-hadits adalah dengan melihat aspek sejarah yang berkaitan dengan peristiwa munculnyan hadits. Karena tidak ada jalan bagi logika,[20] baik yang tercantum pada matan hadits itu sendiri atau pada hadits yang lain,maupun yang tidak tercantum, tetapi disebutkan secara tersendiri dan ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.[21]
Namun secara terperinci, untuk mengetahui asbab wurud al-hadits dapat diketahui dengan beberapa cara, antara lain.[22]
- Melalui riwyat hadits Nabi, baik diungkapkan secara tegas dalam hadits itu sendiri atau dalam hadits yang lain maupun dalam bentuk isyarat atau indikasi saja. Hal tersebut diproleh melalui riwayat-riwayat yang secara integral merekam peristiwa, pertanyaan atau segala sesuatu yang melatarbelakangi ucapan atau sikap Nabi saw, baik secara tegas maupun tersirat.
- Melalui informasi (aqwal) sahahabah, riwayat-riwayat yang disandarkan kepada mereka, melihat mereka hidup, berinteraksi dan ikut bersama Nabi saw dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi saw.
- Melalui Ijtihat. Proses ini dilakukan pada umumnya dengan men-takhjij hadits, untuk mencari segala informasi terkait dengan tema yang dikaji.
Menurut penelitian al-Bulqiny sebagai dikutip Fatchur Rahman, bahwa sebab-sebab lahirnya hadits itu ada yang sudah tercantum dalam hadits itu sendiri dan ada pula yang tidak tercantum di dalam hadits sendiri, tetapi tercantum di hadits lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan dari para sahabat.[23]
Sebagai contoh Asbabul Wurudil Hadits yang tercantum di dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang tercantum dalam kitab Sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudry, sebagai dikutip Fatchur Rahman. Kata Abu Sa’id:
انه قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم اتوضأ من بئر بضا عة, وهي بئر يطرح
فيه الحيضو ولحم الكلب والنتن فقال: الماء طهور لاينجسه شيئ.
”
Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan
Rasulullah: ‘Apakah Tuan mengambil air wudlu dari sumur Budla’ah, yakni sumur
yang dituangi darah, daging anjing dan barang-barang busuk?’ Jawab Rasulullah:
‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis’.”
Sebab Rasulullah bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri.[24]
Contoh Asbabul Wurud al-Hadits yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi diketahuinya dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadits yang diketengahkan oleh Imam al-Sittah (Imam Bukhari dalam Kitab Bad’ul Wahyi 1/1, Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah 2/1907, An-Nasa’i dalam Kitab al-Thaharah 1/51, Ibnu Majah dalam Kitab Suhud 2/1413) tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan melalui Umar ibnu al-Khatthab yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
Sebab Rasulullah bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri.[24]
Contoh Asbabul Wurud al-Hadits yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi diketahuinya dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadits yang diketengahkan oleh Imam al-Sittah (Imam Bukhari dalam Kitab Bad’ul Wahyi 1/1, Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah 2/1907, An-Nasa’i dalam Kitab al-Thaharah 1/51, Ibnu Majah dalam Kitab Suhud 2/1413) tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan melalui Umar ibnu al-Khatthab yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
انما الاعمال بالنيات وانما لامرئ ما نوا فمن كانت هجرته الى الله
ورسوله, فهجرته الى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها
أوامرأة يتزوجها فهجرته الى ما هاجر اليه.
“Sesungguhnya
amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya masing-masing. Maka barang
siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya; barang siapa yang hijrahnya karena duniawi, maka dia akan
memperolehnya; atau karena wanita, maka dia akan mengawininya. Maka hijrah
seseorang itu hanya kepada apa yang diniatkan dalam hijrahnya.”[25]
Asbabul Wurud dari Hadits tersebut, ditemukan pada hadits yang dikatakan Al-Zubair ibnu Bakkar di dalam kitab Akhbarul Madinah –sebagai dikutip al-Suyuthi- bahwa telah menceritaan kepadaku (al-Zubair) Muhammad ibnul Hasan, dari Muhammad ibnu Thalhah ibnu Abdul Rahman, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim ibnu al-Harits, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, sahabat-sahabatnya terserang penyakit demam di Madinah. Kemudian datanglah seorang lelaki, lalu ia mengawini seorang wanita Muhajirah. Kemudian Rasulullah duduk di atas mimbarnya dan bersabda:
Asbabul Wurud dari Hadits tersebut, ditemukan pada hadits yang dikatakan Al-Zubair ibnu Bakkar di dalam kitab Akhbarul Madinah –sebagai dikutip al-Suyuthi- bahwa telah menceritaan kepadaku (al-Zubair) Muhammad ibnul Hasan, dari Muhammad ibnu Thalhah ibnu Abdul Rahman, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim ibnu al-Harits, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, sahabat-sahabatnya terserang penyakit demam di Madinah. Kemudian datanglah seorang lelaki, lalu ia mengawini seorang wanita Muhajirah. Kemudian Rasulullah duduk di atas mimbarnya dan bersabda:
يا أيها الناس انما الاعمال بالنية. ثلاثا. فمن كانت هجرته الى الله
ورسوله, فهجرته الى الله ورسوله, ومن كانت هجرته فى دنيا
يطلبها, أوامرأة يخطبها فانما هجرته الى ما هاجر اليه.
“Hai, manusia,
sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya –sebanyak tiga
kali- Maka barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti
dia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang niat hijrahnya
karena duniawi, maka dia dapat mencarinya; atau karena wanita, dia dapat melamarnya.
Maka sesungguhnya hijrah seseorang itu hanyalah kepada apa yang ia niatkan
dalam hijrahnya.”[26]
Dalalah hadits yang mengandung Sabab Wurud
Untuk menentukan hadits dilihat dari wurud-nya, ulama telah menyusun berbagai kaidah dan metode penelitian khusus yang mampu menyeleksi dan menetapkan, apakah suatu hadits berkatagori mutawatir atauahad, dan apakah suatu hadits ahad berkualitas shahih atau tidak.Penelitian tidak hanya ditujukan kepada sanad saja, tetapi juga ditujukan kepada mata.
Dengan demikian, upaya menetapkan status hadits dilihat dari wurud-nya tidaklah sulit.Namun untuk menetapkan status hadits dilihat dari dalalah-nya, tampaknya masih cukup banyak masalah yang harus dikaji lebih mendalam. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan status dalalah suatu sunnah tertentu adalah sabab wurud-nya.
Dengan mengetahui sabab wurud al-hadits yakni sebab dikeluarkannya hadits (sunnah), maka dapat diketahui konteks sunnah yang bersangkutan. Hanya saja, tidaklah setiap sunnah memiliki sabab wurud. Hubungan sunnah dengan dalil-dalil naqli lainnya harus juga diberikan perhatian, karena mungkin saja terjadi hubungan nasikh-mansukh, rajih-marjuh, maqbul-mardud, dan yang semacamnya. Dengan mengetahui hubungan tersebut, maka akan dapat ditentukan sunnah yang berkedudukan ma’mul bih (yang diamalkan) dan yang ghair ma’mul bih (yang tidak diamalkan). Dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa hadits yang maqbul (diterima karena hadits yang bersangkutan berkualitas shahih) belum tentu ma’mul bih.Terkadang, suatu hadits telah dapat diketahui sebagai ma’mul bih, namun hadits yang bersangkutan ditujukan kepada anggota masyarakat tertentu berdasarkan latar belakang budaya ataupun tingkat pemahaman anggota masyarakat yang bersangkutan.Hal tersebut perlu diperhatikan sebab Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam tidak mengabaikan audiens yang beliau hadapi.
Dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dinyatakan bahwa Nabi membiarkan seorang Arab gunung buang air kecil di masjid. Para shahabat Nabi marah dan hendak memukulnya, namun Nabi melarang mereka dan menyuruh shahabat beliau untuk mengambilkan air dan menyiramkannya keatas air kencing orang Arab gunung tersebut
Hadits dimaksud tidak dapat disimpulkan bahwa menyengaja buang air di dalam masjid diperkenankan.Nabi membiarkan orang Arab gunung itu kencing dalam masjid karena tingkat pemahaman orang tersebut masih rendah dan perlu diberi pengajaran secara bijaksana.
Adakalanya suatu hadits melarang sesuatu dengan tujuan untuk memelihara akidah umat Islam.Dalam hadits riwayat Muslim dan lain-lain.Nabi menyatakan larangan berziarah ke kubur dan larangan itu kemudian beliau cabut kembali.Larangan itu bertujuan untuk memelihara akidah umat Islam. Dengan demikian, latar belakang petunjuk suatu sunnah sangat penting diperhatikan dalam upaya menentukan status qath’i dan zhanni-nya.[27]
Kitab-kitab yang membahas Asbab Wurud al-Hadits
Dari literatur-literatur yang ditinggalkan oleh sebagian ulama, yang secara khusus membahas asbab wurud al-hadits tidaklah begitu banyak tersebar dikalangan kaum Mauslimin. Asbab al-Wurud al-Hadits terhitung telah lama ada, benih-benih ilmu ini telah ditanamkan di masa sahabat dan tabi’in.Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab.[28]
Al-Zarkasy dalam al-Burhan-nya –sebagai dikutip al-Suyuthi- menuturkan kisah yang berkenaan dengan firman Allah surat al-Ma’idah ayat 92,[29]
Dalalah hadits yang mengandung Sabab Wurud
Untuk menentukan hadits dilihat dari wurud-nya, ulama telah menyusun berbagai kaidah dan metode penelitian khusus yang mampu menyeleksi dan menetapkan, apakah suatu hadits berkatagori mutawatir atauahad, dan apakah suatu hadits ahad berkualitas shahih atau tidak.Penelitian tidak hanya ditujukan kepada sanad saja, tetapi juga ditujukan kepada mata.
Dengan demikian, upaya menetapkan status hadits dilihat dari wurud-nya tidaklah sulit.Namun untuk menetapkan status hadits dilihat dari dalalah-nya, tampaknya masih cukup banyak masalah yang harus dikaji lebih mendalam. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan status dalalah suatu sunnah tertentu adalah sabab wurud-nya.
Dengan mengetahui sabab wurud al-hadits yakni sebab dikeluarkannya hadits (sunnah), maka dapat diketahui konteks sunnah yang bersangkutan. Hanya saja, tidaklah setiap sunnah memiliki sabab wurud. Hubungan sunnah dengan dalil-dalil naqli lainnya harus juga diberikan perhatian, karena mungkin saja terjadi hubungan nasikh-mansukh, rajih-marjuh, maqbul-mardud, dan yang semacamnya. Dengan mengetahui hubungan tersebut, maka akan dapat ditentukan sunnah yang berkedudukan ma’mul bih (yang diamalkan) dan yang ghair ma’mul bih (yang tidak diamalkan). Dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa hadits yang maqbul (diterima karena hadits yang bersangkutan berkualitas shahih) belum tentu ma’mul bih.Terkadang, suatu hadits telah dapat diketahui sebagai ma’mul bih, namun hadits yang bersangkutan ditujukan kepada anggota masyarakat tertentu berdasarkan latar belakang budaya ataupun tingkat pemahaman anggota masyarakat yang bersangkutan.Hal tersebut perlu diperhatikan sebab Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam tidak mengabaikan audiens yang beliau hadapi.
Dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dinyatakan bahwa Nabi membiarkan seorang Arab gunung buang air kecil di masjid. Para shahabat Nabi marah dan hendak memukulnya, namun Nabi melarang mereka dan menyuruh shahabat beliau untuk mengambilkan air dan menyiramkannya keatas air kencing orang Arab gunung tersebut
Hadits dimaksud tidak dapat disimpulkan bahwa menyengaja buang air di dalam masjid diperkenankan.Nabi membiarkan orang Arab gunung itu kencing dalam masjid karena tingkat pemahaman orang tersebut masih rendah dan perlu diberi pengajaran secara bijaksana.
Adakalanya suatu hadits melarang sesuatu dengan tujuan untuk memelihara akidah umat Islam.Dalam hadits riwayat Muslim dan lain-lain.Nabi menyatakan larangan berziarah ke kubur dan larangan itu kemudian beliau cabut kembali.Larangan itu bertujuan untuk memelihara akidah umat Islam. Dengan demikian, latar belakang petunjuk suatu sunnah sangat penting diperhatikan dalam upaya menentukan status qath’i dan zhanni-nya.[27]
Kitab-kitab yang membahas Asbab Wurud al-Hadits
Dari literatur-literatur yang ditinggalkan oleh sebagian ulama, yang secara khusus membahas asbab wurud al-hadits tidaklah begitu banyak tersebar dikalangan kaum Mauslimin. Asbab al-Wurud al-Hadits terhitung telah lama ada, benih-benih ilmu ini telah ditanamkan di masa sahabat dan tabi’in.Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab.[28]
Al-Zarkasy dalam al-Burhan-nya –sebagai dikutip al-Suyuthi- menuturkan kisah yang berkenaan dengan firman Allah surat al-Ma’idah ayat 92,[29]
“Dan taatlah
kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah.jika
kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami,
hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
Al-Zarkasy menuturkan: Disebutkan bahwa Qudamah bin Mazh’un dan ‘Amr bin Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah, dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di atas yang tidak mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya menolak pendapat mereka, yakni apa yang dikemukakan oleh al-Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
Di saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya:
Al-Zarkasy menuturkan: Disebutkan bahwa Qudamah bin Mazh’un dan ‘Amr bin Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah, dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di atas yang tidak mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya menolak pendapat mereka, yakni apa yang dikemukakan oleh al-Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
Di saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya:
“Bagaimana
halnya dengan saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum
khamr, sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa khamr itu haram”.
Maka Allah pun menurunkan ayat tersebut di atas.
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah bahwasanya objek kajian ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini, al-Suyuthi menuturkan dengan menukil al-Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa karya tentang objek ini, yakni:
Maka Allah pun menurunkan ayat tersebut di atas.
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah bahwasanya objek kajian ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini, al-Suyuthi menuturkan dengan menukil al-Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa karya tentang objek ini, yakni:
- Asbab al-Wurud al-Hadits, karya Abi Hafsah al-Akbari (wafat 399 H).[30] Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin al-Husain al-Farra’ al-Hanbaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (309 H).[31]
- Al-Bayan wa al-Ta’rief, karya Ibrahim ibn Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husainy (1120 H). Dicetak tahun 1329 H.[32]
- Asbab al-Wurud al-Hadits, karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jubari.
- Al-Luma’ Fi Asbab al-Wurud al-Hadits, karya al-Suyuthi.[33]
- Al-Bayan Wa al-Ta’rif Fi Asbab al-Wurud al-Hadits al-Syarif, karya Abi Hamzah al-Dimasyqi.[34]
Kesimpulan
Asbab wurud al-hadits merupakan pembahasan yang sangat urgen bagi sesoorang dalam memahami suatu hadits secara tepat.Tidak menjadikan pemahamannya kaku sehingga bersifat literalis-skriptualis, bahkan bersifat akomodif terhadap perkembangan zaman. Namun mengetahui asbab wurud suatu hadits adalah suatu keniscayaan untuk mengantarkan pada pengetahuanmusabab-nya.
Pembahasan mengenai sebab-sebab keluarnya hadits, merupakan salah satu pokok-pokok bahasan dari ilmu hadits yang berkaitan dengan matan, ia juga merupakan salah satu jenis dari ilmu hadits yang khusus membahas dirayah, yang mencakup sanad dan matan. Dimana ia didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat kebenaran suatu riwayat, syarat-syaratnya, jenis-jenisnya, hokum-hukumnya, juga keadaan perawi beserta syarat-syarat mereka, dan klasifikasi yang telah diriwayatkan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Dengan demikian asbab wurud al-hadits adalah bagian dari tsaqafah islam yang lahir dari pancaran sumber ajaran Umat Islam, sebagai suatu keyakinan yang qat’I yaitu al-Hadits. Sehingga menjadi sarana (wasilah) untuk mengatahui maksud dan pesan moral yang terkandung dalam hadits tersebut, melalui perumusan yang telah ditetapkan oleh para Ulama kita yaitu
- Melalui riwayat hadits Nabi, baik diungkapkan secara tegas dalam hadits itu sendiri atau dalam hadits yang lain maupun dalam bentuk isyarat atau indikasi saja. Hal tersebut diproleh melalui riwayat-riwayat yang secara integral merekam peristiwa, pertanyaan atau segala sesuatu yang melatarbelakangi ucapan atau sikap Nabi saw, baik secara tegas maupun tersirat.
- Melalui informasi (aqwal) sahahabah, riwayat-riwayat yang disandarkan kepada mereka, melihat mereka hidup, berinteraksi dan ikut bersama Nabi saw dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi saw.
- Melalui Ijtihat. Proses ini dilakukan pada umumnya dengan men-takhjij hadits, untuk mencari segala informasi terkait dengan tema yang dikaji.
DAFTAR
PUSTAKA
Hafidz
Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan
Spritual, Cet. IV, Al-Azhar Press;Bogor,1433 H/2012 M
Taqiyuddin
an-Nabhani, Kepribadian Islam, (Cet.I,
Hizbut Tahrir Indonesia;Jakarta Selatan, 2007), Terj
Ahmad
H. Arifuddin, Metodologi Pemahaman
Hadits, Cet. II. Alauddin University Press; Makassar, 2012
As-Syuthi
Imam Jalaluddin, Asbab Wurud Al-Hadits, Cet,
III. Pusta As-Sunnah;Jakarta, 2012.Terj-
Ash-Shiddieqy M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, Ed.
II. Cet. IV. Pustaka Rizki Putra;Semarang, 1999
KH. Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, Membangun Paradigma Berfikir
Tasyri’i, Cet. II. Al-Azhar Perss; Bantarjati-Bogor, 2012
Al-Khathib
M ‘Ajaj, al-Ushul al-Hadits, Cet. II.
Gaya Media Pratama: Jakarta, 2001 M. Terj-
https://Alkautsarkalebbi.asbab al-wurud al-hadits wordpress. Com.
https://Alkautsarkalebbi.asbab al-wurud al-hadits wordpress. Com.
Mengutip, Al-Imam Jalal
al-Din al-Suyuthi, Al-Luma’ Fi Asbab al-Wurud al-Hadits Terj. Bahrun Abu
Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005
[1]Tsaqafah
Islamiyyah adalah
pengetahuan yang dibangun berdasarkan Akidah Islam.Jika asasnya bukan dari
Islam, maka staqafah tersebut bukan staqafah Islam. Contoh staqafah Islam adalah al-Qur’an dan
al-Hadits serta pengetahuan yang berkaitan dengan kedua nas tersebut, seperti
Ushul Tafsir, Ilmu Tajwid, Ilmu Sabab Nuzul, Tafsir al-Qur’an, Ushul Hadits
Ilmu Sabab Wurud al-Hadits, Sirah Rasul dan Sahabat, Ilmu Ushul Fiqhi,Ilmu
Fiqhi, serta Ilmu Bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharf, Balagha dan sebagainya.
Sedangkan Filsafat Islam yang berkembang di dunia saat ini, tidak termasuk
dalam tsaqafah Islam. Lihat,Hafidz
Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan
Spritual, (Cet. IV, Al-Azhar Press;Bogor,1433 H/2012 M) h. 289. Lihat juga,
Taqiyuddin an-Nabhani,Kepribadian Islam
(terjemahan),(Cet.I, Hizbut Tahrir Indonesia;Jakarta Selatan, 2007), h, 386
[2]H. Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadits,(cet. II.
Alauddin University Press; Makassar, 2012),
h. 119
[3]Imam Jalaluddin As-Syuthi, Asbab Wurud Al-Hadits, (Cet, III. Pusta
As-Sunnah;Jakarta, 2012) h. 45
[4]H. Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadits., op.cit.,
[5]Ibid.,
[6]Imam Jalaluddin As-Syuthi, Asbab Wurud Al-Hadits. Op.cit., h. 46
[7]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, (Ed.
II. Cet. IV. Pustaka Rizki Putra;Semarang, 1999), h. 142
[8]H. Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadits., op.cit. h.121
[9]Ibid.,
[10]Imam Jalaluddin As-Syuthi, Asbab Wurud Al-Hadits. Op.cit.,
[12]KH. Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, Membangun Paradigma Berfikir
Tasyri’i, (Cet. II. Al-Azhar Perss; Bantarjati-Bogor, 2012), h. 196
[13]Imam Jalaluddin As-Syuthi, Asbab Wurud Al-Hadits. Op.cit.,h. 49
[14]KH. Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, Membangun Paradigma Berfikir
Tasyri’i., op.cit., h. 207
[15]Imam Jalaluddin As-Syuthi, Asbab Wurud Al-Hadits. Op.cit.,h.51
[17]Ibid.,
[18]H. Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadits., op.cit., h.126
[19]Ibid.,
[20]https://Alkautsarkalebbi.asbab al-wurud al-hadits wordpress. Com.
Diakses 12/03/2015
[21] Endang Soetari,Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press,
1997 M), h.211
[22]H. Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadits.,
op.cit., h.125
[23]https://Alkautsarkalebbi.asbab al-wurud al-hadits wordpress. Com.
Diakses 12/03/2015
[24]Ibid.,
[25]https://Alkautsarkalebbi.asbab al-wurud al-hadits wordpress. Com.
Mengutip, Al-Imam
Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Luma’ Fi Asbab al-Wurud al-Hadits Terj.
Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), cet. ke-1 h. 28.
[26]Ibid.,
[28]Imam Jalaluddin As-Syuthi, Asbab Wurud Al-Hadits. Op.cit., h.67-68
[29]Ibid.,
[30]Ibid.,
[31]M ‘Ajaj Al-Khathib, al-Ushul al-Hadits, (Cet. II. Gaya
Media Pratama: Jakarta, 2001 M), terjemahan.
h.260. Lihat,Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits,
[32]Ibid.,
[33]Imam Jalaluddin As-Syuthi, Asbab Wurud Al-Hadits. Op.cit. h.69
[34]Ibid.,
[35]M ‘Ajaj Al-Khathib, al-Ushul al-Hadits, op.cit.,
0 Response to "Makalah Asbab al-Wurud"
Post a Comment