Melihat kondisi
masyarakat hari ini yang cenderung matrealistik dengan mengedepankan
manfaat/keuntungan dan melupakan sisi halal dan haram, mengharuskan perlunya penyadaran
melalui jalan pemikiran, hal ini karna manusia mengikuti pemahamannya dalam
beraktivitas. Di sisi lain dari pihak pemerintah harus memfilter segala bentuk pekerjaan/aktivitas yang mengandung unsur
keharaman. Karna sebuah masyarakat, sebagaimana di kemukakan oleh Dwi Condro
Triono, P.hd dalam bukunya Retorika
Mengguncang Dunia bahwa terwujudnya masyarakat Islami ketika berkumpulnya
manusia dalam satu wilayah dan terjadi interaksi yang intens serta diikat
dengan perasaan Islam, pemikiran Islam, dan aturan Islam. Maka terwujudnya
suasana dan lingkungan Islam ketika perasaan, pemikiran dan aturannya Islam.
Sebagian kalangan
mengaggap bahwa bekerja sebagai penghalang untuk mewujudkan ketaatan kepada
Allah Swt., atau dikatakan bekerja sebagai bukti kecintaan kepada dunia dan
harta. Pasalnya, mereka mengasingkan diri dari dunia dengan membawa
pemahamannya yang keliru terhadap kehidupan dunia. Seakan-akan bekerja dalam
pandangan mereka bukan bagian dari ajaran Islam. na’uzdu billah.
Hal ini
diakibatkan lemahnya pemahaman (mafhum) seorang
Muslim terhadap Islam sehingga menjadi pemicu terjadinya kesalahan dalam
aktivitasnya, khususnya dalam hal bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Jika di
kita amati, manusia dalam aktivitasnya selalu mengikuti pemahaman (mafhum)-nya, sehingga jika pemahamannya
tidak Islami perbuatanya akan berpotensi melanggar syari’ah Allah Swt. Tidak
sampai di situ, umat dalam bekerja akan menjauh dari nilai-nilai etos kerja yang
Islami sehingga aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhannya terpisah dari koridor
Allah Swt, hilangnya aspek ruh (kesadaran dirinya dengan Allah Swt) dalam
bekerja, dan melemahnya spirit untuk menjadikan pekerjaannya sebagai amal
ibadah disisi Allah Swt.
Islam menuntut kita untuk menunjukkan
etos kerja tidak hanya rajin, gigih, dan setia, akan tetapi senantiasa
menyeimbangkan dengan nilai-nilai luhur Islam yang tentunya tidak melampaui
rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini mengindikasikan adanya keimanan dalam bekerja
yaitu bekerja dalam rangka menunaikan kewajiban, dan untuk menghindari diri
dari meminta-minta atau mengemis, dan dalam bekerja senantiasa menyesuaikan diri
dengan tuntunan Allah Swt. Dengan demikian lahirlah aspek keimanan dalam
bekerja dan terbentuklah nilai-nilai etos kerja yang sejalan dengan al-Qur’an
dan tuntunan Rasulullah saw.
Dalam makalah ini akan dibahas
revitalisasi/reaktualisas konsepsi etos kerja dalam presfektif al-Qur’an,
kajian tafsir tematik. Membahas persoalan yang cukup krusial dalam kehidupan
dewasa ini, mengingat kaum muslimin pada khususnya keliru dalam memahami konsepsi
bekerja dalam Islam. Di sisi lain, kurangnya kajian yang membahas persoalan ini
dari sedut pandang al-Qur’an, sehingga perlu untuk dibahas.
PEMBAHASAN
Definisi Etos Kerja
dalam Pandangan Islam
Istilah Etos
Kerja dibentuk dari dua kata, yaitu etos dan
kerja. Secara harfiah etos berasal
dari bahasa yunani dengan akar kata ‘ethikos’
yang mengandung arti moral, sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan
atas sesuatu (wikipwdia;2016). Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) etos adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas seseorang atau
kelompok; sikap yang mendasari lahirnyan perbuatan-perbuatan dalam pola
hubungan tertentu antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya. Sedangkan
dalam al-Qur’an
dikenal kata ‘itqon’ yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh,
akurat dan sempurna. (Qs. An-Naml : 88).
Adapun kerja dalam
pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam
hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa
Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah aktivitas perbuatan
dalam melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam Islam, pengertian kerja amatlah luas,
mencakup seluruh pengerahan potensi manusia, itu jika ditinjau secara umum. Adapun
pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk
memenuhi tuntutan potensi kehidupan (at-thaqa
al-hayawiyah)-nya, berupa kebutuhan jasmani (al-hajat al-udhawiyah) seperti makanan, minuman, pakaian, dan
tempat tinggal, maupun kebutuhan naluri (gharizah)
seperti tuntutan untuk menikah, peningkatan taraf hidup yang lebih baik dan
naik haji ke baitullah. Semuanya merupakan tuntutan yang harus dipenuhi melalui
usaha dalam bekerja.
Maka dapat disimpulkan bahwa etos
kerja dapat diartikan sebagai sikap mental dan kepribadian yang di miliki oleh
sesorang dalam melakukan berbagai usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bagi
seorang muslim paradigma etos kerja diartikan sebagai cara
pandang yang diyakini bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri,
tetapi juga sebagai manifestasi dari amal shaleh dan mempunyai nilai ibadah
yang luhur.
Dalam
terminologi al-Qur’an etos kerja dapat di artikan sebagai ‘amal shaleh’ yang
menjadi faktor penentu kesuksesan sesoorang, baik di dunia maupun di akherat.
Allah Swt berfirman:
( `yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr&
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(Qs. al-Kahfi[18]:110)
Bekerja
sebagai pemenuhan at-Taqah al-Hayawiyah (potensi
kehidupan)
Manusia secara esensial memiliki
potensi kehidupan (at-Taqah al-Hayawiyah)
yang mempengaruhi aktivitas kehidupannya. Potensi yang mendorong manusia untuk
melakukan berbagai aktivitas. Di sisi lain, manusia yang dianugerahi potensi
akal untuk memahami realitas, – yang membedakannya dengan hewan – menjadi
penentu baik dan buruknya, tercela dan terpujinya perbuatan yang dilakukannya,
dengan menjadikan Islam sebagai paradigmanya. Karna manusia senantiasa
mengikuti pemahamannya dalam beraktivitas.
Potensi kehidupan itu adalah
kebutuhan jasmani (hajat al-udhwiyah) dan
naluri (gharizah). Kebutuhan jasmani
merupakan kebutuhan mendasar yang timbul akibat struktur organ tubuh manusia.
Jika kebutuhan dasar tersebut tidak dipenuhi, struktur organ tersebut akan
mengalami ganguan dan bisa mengakibatkan kerusakan, sehingga pemenuhannya
bersifat pasti. Adapun naluri merupakan fitrah manusia dalam mempertahankan
eksistensi hidupnya, keturunan, dan mencari petunjuk mengenai keberadaan Sang
pencipta. Fitrah yang penulis maksud adalah sifat dasar yang Allah Swt ciptakan
pada diri manusia. Kemudian naluri terbagi menjadi tiga bagian yaitu naluri
beragama (gharizah at-tadayyun), naluri
melangsungkan keturunan (gharizah
an-nau’) dan naluri mempertahankan diri (gharizah
al-baqa’).
Dari ke dua potensi kehidupan di
atas, yaitu kebutuhan jasmani (hajat
al-udhwiyah) dan naluri (gharizah),
semuanya memiliki perwujudan berupa aktivitas atau perbuatan;dalam artian bahwa
perbuatan manusia lahir dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri tadi.
Misalkan, makan, minum, tidur dan buag hajat adalah aktivitas yang lahir dalam
memenuhi kebutuhan jasmani (hajat
al-‘udhwiyah). Adapun naluri (gharizah)
dapat diklasifikasikan perwujudannya, yaitu naluri beragama (gharizah at-tadayyun) mendorong
seseorang untuk mengagungkan sesuatu (mencari keberadaan Tuhan), bahagia,
takut, harap dan sedih. Sedangkan naluri melangsungkan keturunan (gharizah an-nau’) mendorong seseorang
untuk menikah, melakukan hubungan seksual, tanggung jawab terhadap keluarga,
cinta dengan lawan jenis, memiliki rasa ke ibuan dan ke bapaan. Adapun
naluri mempertahankan diri (gharizah al-baqa) mendorong seseorang
untuk menginginkan kekuasaan/jabatan, rumah yang mewah, harta yang banyak atau
perhiasan yang banyak.
Semua dorongan dari ke dua potensi
kehidupan tersebut yaitu kebutuhan jasmani (hajat
al-‘udhwiyah) dan naluri (gharizah), mengaruskan
seseorang untuk beraktivitas/bekerja, demi terpenuhinya ke dua kebutuhan
tersebut. Ada yang besifat pasti dalam pemenuhannya seperti kebutuhan jasmani
(makan, minum, istirahat, buang hajat) karna ia kebutuhan mendasar/primer, dan
ada yang tidak pasti dalam pemenuhannya seperti kebutuhan naluri, karna ia
bukan kebutuhan mendasar, walaupun jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan
kegelisahan, namun ia tidak mengancam kehidupan manusia.
Berangkat dari penjelasan di atas,
maka dapat kita pahami bahwa manusia secara alami melakukan berbagai aktivitas,
dalam hal ini bekerja, adalah karna dorongang dari potensi kehidupannya. Untuk itulah
al-Qur’an menetapkan bekerja sebagai sesuatu yang umum, terkadang al-Qur’an
membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang
kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah
kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan
di akhirat.
Walhasil al-Qur’an tidak menetapkan bekerja sebagai
aktivitas tertentu, namun al-Qur’an menetapkan prinsip-prinsip dasar yang
bersifat umum. Hal ini dapat kita pahami, karna segala bentuk aktivitas
manusia, lahir dalam rangka memenuhi potensi kehidupannya yaitu kebutuhan
jasmani dan naluri. Sehingga dapat kita simpulkan, bahwa manusia bekerja dalam
memenuhi kebutuhannya, di sebabkan karna faktor manusiawi yang telah menjadi
sunnatullah dalam dirinya.
Revitalisasi
Konsepsi Etos Kerja dalam Presfektif al-Qur’an
Dalam kitab Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam (sistem
Ekonomi Islam) oleh Syakh Taqiyuddin
an-Nabhani (2005;95) bahwa dalam Islam bekerja memiliki arti yang luas,
beraneka ragam jenisnya, bermacam-macam bentuknya serta berbeda-beda hasilnya.
Karna itulah Asy-Syari’ (Sang Pembuat
Hukum; Allah Swt) tidak membiarkan kata bekerja
begitu saja bersifat umum. Namun, Asy-Syari’
telah menetapkannya melalui Rasulullah Saw., dalam bentuk kerja-kerja
tertentu. Kemudian dalam menetapkannya, Asy-Syari’
menjelaskan kerja-kerja tersebut berikut jenis-jenis kerja yang layak untuk
dijadikan sebagai sebab kepemilikan.
Dari uraian di
atas dapat kita pahami bahwa bekerja menjadi salah satu sebab kepemilikan
individu. Kepemilikan individu yang dimaksud adalah izin dari Allah Swt.,
kepada individu untuk memanfaatkan dan memiliki sesuatu. Jadi seorang individu
berhak memiliki harta untuk dinikmati, sebagaimana yang telah ia proleh. Maka
bekerja dalam hal ini menjadi sebab kepemilikan harta atas individu. Secara prinsip,
syara’ telah menetapkan jenis usaha yang bisa menjadi sebab kepemilikan,
(2005;95) di antaranya: menghidupkan tanah (lahan) mati, berburu, menggali
kandungan dalam perut bumi ataupun di udara, makelaran/broker, mudharabah (kerjasama usaha yang
menggabungkan harta/modal dengan tenaga), musaqat
(mengairi lahan pertanian) dan ijarah
(kontrak kerja).
Sebagaimana kebiasaan buruk masyarakat dalam bekeja – tidak
amanah, tidak jujur dan mudah putus asa dari Rahmat Allah – di sebabkan kuatnya
kecendruangan duniawi/kebendaan dalam dirinya, dan tidak menjadikan daya
spritual sebagai dorongan dalam bekerja sehingga ia lupa jati dirinya sebagai
seorang muslim yang memiliki ajaran moral yang tinggi. Pasalnya, tidak sedikit
dari mereka yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.,
dengan prinsip, menghalalkan segala cara.
Pada persoalan ini, Islam telah memetakan konsepsi
etos kerja yang luhur, yang memiliki nilai moralitas yang tinggi, dan menjadikan
nilai-nilai tersebut sebagai sikap utama yang tercermin dalam aktivitas seorang
muslim. Untuk itu berikut penulis akan merevitalisasi/mereaktualisasi konsepsi
etos kerja dalam Islam atau menyegarkan kembali pemahaman etos kerja dalam
presfektif al-Qur’an.
Orientasi bekerja
Orientasi dalam bekerja dimaksudkan
sebagai sikap yang harus di kedepankan dalam bekerja atau motivasi yang menjadi
dorongan kita dalam bekerja. Dalam pemahaman yang mendalam dan teliti kita
menemukan tiga dorongan/ motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan
perbuatan/bekerja. Pertama, motivasi
materi atau kebendaan, merupakan dorongan yang lemah di akibatkan lahir dari kebutuhan
jasmani dan naluri. Berarti, jika sesoorang dalam bekerja hanya di motivasi
oleh materi/keuntungan semata, maka dorongan ini tergolong lemah dan mudah
dipatahkan. Dengan kata lain aktivitas seorang muslim dalam bekerja tidak
bernilai ibadah di sisi Allah Swt. Kedua,
motivasi emosional atau psikologis, merupakan dorongan yang lahir dari
kondisi emosional sesorang terhadap sesuatu. Maka aktivitas orang tersebut dilandasi oleh
dominasi perasaan yang menyelimutinya. Misalkan, sesoorang terdorong untuk bekerja
akibat takut di katakan sebagai pengangguran. Maka aktivitas atas dorongan ini
pun masih tergolong lemah dan tidak bernilai ibadah di sisi Allah swt. Dan ketiga, motivasi spritual yaitu motivasi
yang dibangun berdasarkan prinsip printah dan larangan Allah Swt., motivasi
yang lahir dari kesadaran seorang muslim karna dirinya mempunyai hubungan
dengan Allah Swt. Misalkan, seorang bekerja demi keluarga
dan mencegah diri dari meminta-minta adalah dorongan spritual, karna ia bekerja
atas dasar tuntutan Allah dan Rasul-Nya terhadap dirinya (2012;94-96).
Untuk itulah,
Islam telah menetapkan kaidah bagi seorang Muslim untuk senantiasa mengaitkan ruh dalam aktivitasnya, yaitu
mengikatkan dirinya dengan hukum syara’ dalam bekerja dan menjadikan daya
spritual sebagai dorongannya dalam bekerja. Ruh disini bukanlah sirrul haya’ (rahasia hidup) atau nyawa.
Ruh dalam al-Qur’an memiliki makna musytarak
yakni banyak, terkadang ruh jibril
(Qs. Asy-Syu’araa[26]:193-194), nyawa/rahasia hidup (Qs. Al-Isra’[17]:85), dan
syariah (Qs. Asy-Syura[42]:52). Namun ruh yang penulis maksudkan adalah
kesadaran hubungan manusia dengan Allah Swt, sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh K.H Hafidz Abdurahman dalam bukunya Mafahim
Islamiyah.(2014;127)
Menjadikan
dorongan spritual sebagai landasan aktivitasnya dalam bekerja merupakan hal
yang pasti. Karna seorang muslim tidak hanya mencari keuntungan duniawi, namun
sebagai jalan untuk meraih keuntungan ukhrawi. Inilah paradigma iman, yang
menjadikan akherat sebagai jalan untuk meraih keuntungan. Sebagaimana Allah
berfirman
Barang
siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat. (Asy Syuura [42] : 20)
M. Quraish
Shihab dalam menafsirkan ayat ini mengumpamakan manusia dalam bekerja bagaikan
ia menanam benih. Memang kehidupan dunia diibaratkan bagaikan dengan landang
tempat seseorang menanam benih. Apa yang di tanamnya adalah amal perbuatan, dan
masa panen akan terjadi di akherat nanti. Hal ini dapat dipahami sebagaimana
Al-Biqa’i berkomentar, bahwa karna beragama manusia memiliki hubungan timbal
balik antara hamba dengan Allah. Hubungan tersebut terletak disaat manusia
melakukan aktivitas penanaman benih atau kehendak untuk mendapatkan keuntungan
ukhrawi. Maka terbentuklah aspek ruhiyah pada aktivitas manusia dalam bekerja.
Kemudian
menggabungkan aktivitas lahiriah dengan aspek ruhiyah (kesadaran hubungan
manusia dengan Allah Swt) merupakan syarat pokok menjadikan aktivitas tersebut
memiliki nilai ibadah di sisi Allah Swt. Walaupun pada faktanya tujuan seorang
bekerja adalah ingin mendapatkan nilai materi (keuntungan) dari pekerjaanya dan
bukan nilai spritual, namun status dari aktivitasnya dalam bekerja sudah
menjadi bagian dari ibadah, selama ia memiliki kecendrungan spritual yang kuat
untuk mendapatkan Ridah Allah Swt., dalam bekerja dan tujuan yang hendak
direalisasikan semata-mata karna tuntutan Allah Swt dalam bekerja. Di dalam
al-Qur’an Allah telah mengingatkan
Katakanlah:
"Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik. (Qs. At-Taubah : 24)
Ayat ini
menerangkan bahwa jika nilai spritual (mencintai Allah dan Rasul-Nya serta
berjihad di jalan-Nya) bertolak belakang dengan nilai materi (perniagaan,
tempat tinggal) atau bertentangan dengan nilai akhlak (menghormati orang tua,
saudarah, mencintai istri dan anak-anak), maka nilai spritual tersebut wajib
diutamakan daripada nilai materi dan nilai akhlak, sebagaimana penjelasan
Hafidz Abdurahman dalam bukunya diskursus
Islam Politik Spritual terhadap ayat di atas (2012;109)
Allah
juga berfirman dalam QS. Al-Qashas [28]:77
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Sebagaimana
dalam tafsir al-Muntakhab dalam menafsirkan ayat ini bahwa menjadikan sebagian
dari kekayaan dan karunia yang Allah berikan kepada manusia di jalan Allah
semata-mata untuk amalan kehidupan akhirat. Dan tidak mencegah diri untuk menikmati
sesuatu yang telah Allah halalkan di dunia.
Senada dalam buku
pilar-pilar takwa oleh Dr. A. Ilyas
Ismail (2009;325) mengemukakan bahwa dalam Islam bekerja dapat dipahami sebagai
wujud pengabdian sesoorang kepada Allah Swt (ibadah). Sebagaimana Muhammad
Husain Abdullah (2011;114) dalam kitabnya dirasat
fi al-fikri al-Islam bahwa Ibadah memiliki dua makna, yaitu ibadah secara
umum dan khusus. Secara umum ibadah yaitu ketaatan kepada perintah-perintah
Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Adapun ibadah secara khusus yaitu
segala bentuk perintah dan larangan syariat yang mengatur hubungan seorang
muslim dengan Rab-Nya.
Dengan demikian
bekerja merupakan aktivitas ibadah secara umum bagi seorang muslim, selama
motivasi spritual dan keterikatannya dengan syaria’at di kedepankan yaitu
bekerja dengan memperhatikan sisi halal dan haramnya, bukan manfaat atau
kerugian dari pekerjaan yang ia lakukan, karna hal itu merupakan paradigma kaum
sekuler atau kaum kafir. Walaupun nilai materi berupa keuntungan, menjadi
tujuan yang hendak di capai, namun bukan menjadi dorongan atau motivasi untuk
meraih nilai tersebut.
Bekerja
dengan Ihsan al-‘amal
Ihsan al-‘amal
yang secara harfiah berarti berbuat baik atau bekerja dengan mutu dan kualitas
terbaik (2009;326). Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib,
bahwa “kebaikan yang tidak terorganisir, akan terkalahkan oleh kejahatan yang
terorganisir” pemahaman (mafhum) yang
terkandung dari perkataan Ali kw., bahwa bekerja asal-asalan yang tidak
terorganisir dan profesional walaupun sejalan dengan norma-norma agama akan
terkalahkan dengan bekerja yang terorganisir dan profesional yang tidak sesuai
dengan norma-norma agama.
Ihsan al-‘amal
yang secara harfiah berarti berbuat baik atau bekerja dengan mutu dan kualitas
terbaik. Dalam terminologi al-Qur’an kata ihsan
al-‘amal memiliki korelasi dengan misi penciptaan kematian dan kehidupan
oleh Allah Swt (Qs. al-Mulk:2). Sebagaimana
mafhum dalam tafsiran Jalalain ketika menafsirkan ayat tersebut, bahwa
kehendak Allah Swt dalam menciptakan kematian dan kehidupan, adalah bentuk
ujian kepada manusia. Dengan ujian tersebut, maka manusia akan mendapatkan
penilaian dari Allah Swt., siapa yang memiliki kualitas amal yang terbaik dalam
menyikapi ujian dari-Nya.
Hal ini dapat kita pahami, semakin
terlatih mental seseorang melalui ujian yang dihadapinya, maka semakin
profesional pula dalam bekerja. Karna manusia sebagai makhluq terbaik yang
diciptakan oleh Allah Swt (Qs. At-Tiin:4), maka mengharuskan adanya ihsan atau kualitas dalam perbuatannya. Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda “Sesungguhnya Allah mencintai
seorang diantara kalian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR
Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”) Beliau
juga bersabda, “Sesungguhnya Allah
mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim)
Dalam sebuah
riwayat, Nabi Saw., berpapasan dengan seorang yang sedang menuju ke tempat
tugasnya. Orang itu tampak energik dan penuh semangat. Langkahnya pasti dan
sorot matanya tajam, penuh optimisme dan percaya diri. Lalu para sahabat
bertanya, “adakah orang itu bekerja di jalan Allah” kemudian Nabi Saw.,
menjawab “jika ia bekerja demi keluarga atau demi memelihara diri agar
terhindar dari sifat-sifat meminta-minta, maka ia berada di jalan Allah. Tapi
jika ia bekerja demi popularitas atau kesombongan, ia berada di jalan setan.”
(HR. Thabrani).
Dalam
mengomentari hadits di atas Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Haquq al-Insan, mengemukakan bahwa Islam memberi apresiasi sangat
tinggi kepada orang yang memiliki disiplin dan etos kerja yang baik, dan bahwa
kerja merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari agama. Khususnya bagi
kaum Adam, bahwa Islam telah menetapkan kepada kaum Adam kewajiban bekerja
dalam hal ini menafkahi, terutama mereka yang telah berkeluarga sebagaimana
sabda Rasulullah saw., “seorang laki-laki
adalah pemelihara anggota keluargannya dan dia bertanggung-jawab atas mereka”
tanggung jawab disini adalah menafkahi dan memelihara urusan-urusan keluarga
(istri dan anak-anaknya), semuanya berada di pundak suami.
Adapun syarat yang harus terpenuhi
dalam menggolongkan perbuatan sebagai ihsan
al-‘amal, telah dirumuskan oleh Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manar, ketika menafsirkan Qs.
At-Taubah[9]:105 yang artinya “Katakanlah:
Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Beriman akan
melihat pekerjaanmu”. Beliau mengemukakan dua poin penting yaitu pertama, meluruskan niat dan motivasi
kerja. Hal ini, selain terkait dengan soal produktivitas, juga berhubungan
dengan nilai pekerjaan itu sendiri. Sebagaimana dalam hadits Nabi Saw, yang
sangat populer dikatakan bahwa pekerjaan seseorang dinilai dari niat atau
motivasinya. (HR. Bukhari dan Muslim dalam bab Iman) dengan kata lain kerelaan
hati dalam bekerja, senantiasa dinisbatkan kepada Allah Swt, sebagaimana Allah
berfirman dalam QS. Al-Baqarah[2]:184
,,....Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik
baginya....
Allah
berfirman dalam QS. Al-Baqarah[2]:148
Barangsiapa yang mengerjakan
suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri,
kebaikan lagi Maha mengetahui.
Kerelaan
hati adalah bukti kesuyukuran hamba kepada Allah swt., dan Allah mensyukuri
hamba-Nya: dengan kata lain, memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya,
mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.
Kedua, mengoptimalkan
hasil kerja dengan jalan melaksanakan pekerjaan itu sebaik mungkin dan
sesempurna mungkin, yang sesuai dengan tutunan Allah dan Rasul-Nya.
Nilai dalam segala perbuatan telah
ditetapkan oleh Allah Swt., baik dan buruk, tercela dan terpuji, semuanya telah
menjadi urusan Allah dalam menetapkannya. Sebagaimana Allah berfirman
( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès?
,.....Sesungguhnya
ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali
tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah
[2]:149)
Maka nilai suatu
pekerjaan – kebaikan dan keburukannya – telah menjadi ketetapan Allah Swt.,
karna jika sebuah nilai diberikan kepada manusia, maka akan terjadi
pertentangan sesuai kondisi yang dialaminya. Untuk itulah Allah Swt, mengungkap
kekeliruan manusia dalam menilai sesuatu. Terkadang apa yang ia benci, ternyata
baik bagi mereka dan sebaliknya apa yang ia sukai ternyata buruk baginya. Allah
berfirman
“Boleh Jadi kamu
membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui”(Qs. Al-Baqarah :126)
Dengan demikian seorang yang beriman
akan menjadikan ketentuan-ketentuan Allah Swt., sebagai acuan dalam bersikap
dan bekerja. Melakukan aktivitas kerja yang didorong oleh daya spiritual yaitu
bekerja untuk memenuhi kewajiban seruan Allah Swt, namun jalan yang ditempu
bertolak belakang dengan norma-norma agama, maka Islam memandang orang tersebut
telah bermaksiat kepada Allah Swt., dan amalnya tergolong sebagai amal buruk,
walaupun niat karna Allah dan didorong oleh daya spritual yang tinggi.
Sebaliknya amal yang sesuai dengan ketentuan Allah Swt., namun memiliki
dorongan yang salah atau niat bukan karna Allah Swt., maka amalnya tidak
tergolong sebagai amal ibadah, walaupun ia bekerja terikat dengan syariat Allah
Swt. Sebgaiaman Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS.
Al Baqarah [2]: 172)
Memakan makanan yang baik-baik, dalam hal ini bekerja
dengan pekerjaan yang baik yaitusesuai dengan syariat Allah Swt., adalah
konsekuensi dari aqidah Islam, serta menjadi syarat terwujudnya ihsan al-‘amal dalam bekerja.
Sikap dalam
Bekerja
Untuk itulah dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin (2003;129) oleh Imam Al-Ghazali memberikan nasehat
berupa sikap yang harus dimiliki oleh sesoorang dalam bekerja.
a. Menamkan
niat yang baik dan akidah yang kokoh dalam memulai perdagangan/bekerja.
b. Berniat
melaksanakan salah satu fardhu kifayah di dalam bekerja. Misalnya, seandainya
pekerjaan-pekerjaan dan perdangan di tinggalkan, maka masyarakat akan rugi.
c. Tidak
menjadikan pasar dunia menghalangi pasar akherat. Pasar akherat adalah
masjid-masjid.
d. Selalu
ingat kepada Allah meskipun sibuk dalam urusan pekerjaannya.
e. Jangan
terlau serakah dalam mencari rezki
f. Tidak
hanya mencegah sesuatu yang haram, namun hati-hati pula terhadap sesuatu yang
bersifat syubhat.
g. Hendaknya
berhati-hati dalam bergaul, karna salah bergaul akan merugikan diri sendiri.
Inilah tujuh sikap yang dikemukakan oleh
Imam al-Ghazali dalam kitabnya. Berangkat dari perkataan Imam al-Ghazali,
sebagaimana telah penulis kemukakan di awal bahwa etos kerja merupakan sikap mental
dan kepribadian yang di miliki oleh sesoorang dalam melakukan berbagai usaha
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka perkataan imam al-Ghazali perlu
diperhatikan untuk membangun keshalehan sosial, disamping sebagai pesan-pesan
moral, namun ia juga sebagai kaidah dalam membangun pribadi yang shaleh.
Bekerja
sebagai perwujudan Tauhid sosial dalam membangun keshalehan sosial
Bagi sebagian orang, istilah tauhid sosial mungkin
dirasakan aneh atau terkesan mengada-ada. Tetapi, bagi Sayyid Quthub dan Hasan
Hanafi, keduanya pemikir Mesir kontemporer, tauhid sosial justru diadvokasi
sebagai agenda utama yang harus dilakukan oleh setiap individu demi untuk
membangun keshalehan sosial.
Menurut Sayyid Quthub dalam kitabnya fi Zhilal Al-Qur’an; di bawah naungan
al-Qur’an jilid II (1982;688-689)
bahwa ajaran syahadat yang di dalamnya terkandung doktrin tauhid (tiada Tuhan
selain Allah), bukanlah pengakuan yang bersifat verbal saja, tetapi merupakan
komitmen yang berdampak sosial. Begitu pula Hasan Hanafi mengemukakan bahwa
bertauhid berarti kita memberikan komitmen untuk menegakan dan mewujudkan
keadilan sosial dan kerahmatan bagi seluru alam. Menurut Hasan Hanafi, inilah
makna tauhid sosial yang terkandung dalam firman Allah Swt.
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx©
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (al-Baqarah [2]:143)
Berangkat dari gagasan di atas,
dapat kita pahami bahwa bekerja merupakan tuntutan akidah yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Bekerja berarti ikut berpartisipasi
aktif dalam mewujudkan kehidupan yang aktif pula, serta ikut dalam tolong
menolong dalam kebaikan. Sebagaimana dalam tiori ekonomi bahwa pertumbuhan dan
perputaran ekonomi di tentukan oleh aktivitas manusia dalam bekeja. Maka
aktivitas bekerja menajadi indikator kemajuan suatu bangsa, dan sebaliknya
semakin tinggi tingkat pengangguran akan berpotensi menjadikan negara lemah.
Dalam kaitannya dengan itu, M.
Qurish Shihab dalam bukunya Dia di
mana-mana;tangan Tuhan Di balik Setiap penomena (2004;153), menafsirkan halaqa al-insana min ‘Alaq ayat ke dua
dalam firman-Nya wahyu pertama, bahwa dalam kebahasaan kata ‘alaq antara lain berarti sesuatu yang bergantung. Dimana
ketergantungan manusia kepada pihak lain dan ia tidak dapat hidup sendiri.
Dengan adanya ketergantungan saling membutuhkan, maka manusia tidak dapat
mengelak dari kerja sama. Maka terjalinlah hubungan yang solid, saling mengenal
satu sama lain. Allah berfirman
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz
Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS.
Al-Hujarat [49]:13)
Semakin kuat
pengenalan satu pihak kepada selainya,
semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karna itu ayat di atas
menekankan perlunya saling kenal-mengenal.
Dengan demikian korelasi tauhid terhadap dimensi kehidupan manusia melalui
aktivitas bekerja dan mengsertakan diri ikut dalam parstisifasi aktif dalam
membangun kehidupan yang dinamis, secara otomatis akan melahirkan keshalehan
sosial.
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat kita
simpulkan sebagai berikut:
Pengertian etos kerja adalah sikap mental dan
kepribadian yang di miliki oleh seseorang dalam melakukan berbagai usaha dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Dalam terminologi al-Qur’an
etos kerja dapat di artikan sebagai ‘amal shaleh’ yang menjadi faktor penentu
kesuksesan sesoorang, baik di dunia maupun di akherat. Tentunya bagi seorang
muslim paradigma etos kerja diartikan sebagai cara pandang
yang diyakini bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga
sebagai manifestasi dari amal shaleh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur.
Adapun secara internal manusia dalam
melakukan berbagai aktivitas, termasuk di dalamnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, merupakan dorongan dari ke dua potensi kehidupan tersebut yaitu
kebutuhan jasmani (hajat al-‘udhwiyah)
dan naluri (gharizah). Dalam
pemenuhannya ada yang besifat pasti, seperti kebutuhan jasmani (makan, minum,
istirahat, buang hajat) karna ia kebutuhan mendasar/primer, dan ada yang tidak
pasti dalam pemenuhannya seperti kebutuhan naluri, karna ia bukan kebutuhan
mendasar, walaupun jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kegelisahan, namun ia
tidak mengancam kehidupan manusia.
Dalam merevitalisasi konsepsi etos kerja
dalam persfektif al-Qur’an penulis mengklasifikasikan menjadi beberapa pokok
bahasan yaitu:
a. Orientasi
dalam bekerja dimakasudkan sebagai sikap yang harus di kedepankan dalam bekerja
atau motivasi yang menjadi dorongan kita dalam bekerja. dan meotivasi yang
layak bagi seorang muslim dalam melakukan aktivitas bekerja adalah dorongan
spiritual. Dengan dorongan tersebut seorang muslim dalam bekeja menjadi nilai
ibadah di sisi Allah Swt.
b. Ihsan
al-‘amal yang secara harfiah berarti berbuat baik atau bekerja dengan mutu dan
kualitas terbaik. Dalam terminologi al-Qur’an kata ihsan al-‘amal memiliki korelasi dengan misi penciptaan kematian
dan kehidupan oleh Allah Swt (Qs. al-Mulk:2). Sebagaimana mafhum dalam tafsiran Jalalain ketika menafsirkan ayat tersebut, bahwa
kehendak Allah Swt dalam menciptakan kematian dan kehidupan, adalah bentuk
ujian kepada manusia. Dengan ujian tersebut, maka manusia akan mendapatkan
penilaian dari Allah Swt., siapa yang memiliki kualitas amal yang terbaik dalam
menyikapi ujian dari-Nya.
c.
Sikap dalam bekerja, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya. Maka perkataan imam al-Ghazali
perlu diperhatikan untuk membangun keshalehan sosial, disamping sebagai
pesan-pesan moral, namun ia juga sebagai kaidah dalam membangun pribadi yang
shaleh.
d.
Bekerja sebagai bentuk perwujudan Tauhid sosial dalam
membangun keshalehan sosial merupakan bentuk pengabdian hamba kepada Allah
Swt., dalam mengemplementasikan nilai-nilai tauhid yang telah mengkristal dalam
dirinya dalam kehidupan sosial.
Saran
Lahirnya makalah ini
tentu membawa maksud, yang tidak sekedar memenuhi tuntutan dalam perlombaan
Karya Tulis Ilmiah, namun lebih dari itu. Penulis berharap tulisan ini menjadi
bagian yang diridhai oleh Sang Pencipta untuk dapat menjadi referensi dalam
memahami konsep etos kerja dalam presfektif
al-Qur’an. Disisi lain setiap ciptaan, dan karya-tulis yang lahir dari zat yang
terbatas yaitu manusia, tentu ciptaan, dan karya-tulis itu juga terbatas dan
dipenuhi sisi kelemahan, sehingga atas dasar inilah penulis mengharapkan
koreksi yang sifatnya membangun, untuk kemudian lebih menyempurnakan tulisan
sederhana ini.