Sejarah
mencatat bahwa dunia Islam mengalami pasang surut kejayaannya. Pasca runtuhnya
Ke Khilafaan Turki Utsmani 3 maret 1924 M, dunia Islam mengalami perubahan yang
sangat drastic. Perubahan ini tidak terlepas dari factor sosio-cultural yang
dialami oleh umat Islam pada masanya. Selain berimbas pada perkembangan Islam
sebagai ajaran agama, juga berimbas pada revolusi pemikiran para tokoh Islam.
Munculnya
para pemikir Islam dalam suasana akulturasi budaya antara Timur dan Barat,
menyebabkan arah dan paradigma berpikirnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran
barat yang rasionalis. Namun demikian, bukan berarti bahwa para pemikir Islam
scripturalis sudah tidak eksis lagi.
Pertemuan
budaya timur dan barat dalam dunia Islam juga berimbas pada corak penafsiran
para mufassir pada masa itu. Salah satu factor yang mengakibatkan perkawinan
tradisi keilmuan Timur dan Barat adalah perpindahan pusat keilmuan yang pada
awalnya berada di Negara-negara Islam, setelah runtuhnya kejayaan Islam pusat
keilmuan itu berpindah ke Barat. Hal tersebut sedikitnya memaksa umat Islam
untuk memalingkan arah kiblat keilmuan ke barat yang cenderung rasionalis.
Berawal dari
ketidakpuasan dan kegelisahan intelektual Muhammad Abduh terhadap interpretasi
Al-Quran yang dilakukan oleh mufassir sebelumnya, dan suasana belajar yang
dialami oleh yang cenderung doktriner, telah menggugah keinginan Abduh untuk
menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan konteks zaman yang dialaminya.
Tidak bisa
disanggah lagi, bahwa kondisi sosio histories dan politis di mana seorang
mufassir hidup akan mempengaruhi nalar berfikir dan interperetasinya terhadap
Al-Qur’an.
PEMBAHASAN
Biografi
dan Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Nama lengkap Muhammad Abduh adalah
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairulah. Ia dilahirkan di desa Mahallat
Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1849 M. Ia berasal dari keluarga
yang tidak tergolong kaya, bukan pula
keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat
yang suka memberi pertolongan.[1]
Dalam usia 12 tahun ‘Abduh telah
hapal al-Qur’an. Kemudian, pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar
di Mesjid Ahamdi. Mesjid ini sering disebut “Mesjid Syeikh Ahmad”, yang
kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah Al-Azhar dari segi menghapal
dan belajar al-Qur’an. Pelajaran di masjid Ahmadi ini ia selesaikan selama 2
tahun.[2]
Pada saat Muhammad Abduh berumur 16
tahun, tepatnya pada tahun 1865, Muhammad Abduh menikah dan bekerja sebagai
petani. Namun hal itu hanya berlangsung selama 40 hari. Karena ia harus pergi
ke Tanta untuk belajar kembali. Pamannya Muhammad Abduh, seorang Syeikh (guru
spiritual) Darwisy Khadr – seorang sufi dari Tarekat Syadzili – telah membangkitkan
kembali semangat belajar dan antusiasme Muhammad Abduh terhadap ilmu dan agama.
Syeikh ini mengajarkan kepadanya disiplin etika dan moral serta praktek
kezuhudan tarekatnya. Meski Muhammad Abduh tidak lama bersama Syeikh Darwisy,
sepanjang hidupnya Muhammad Abduh tetap tertarik kepada kehidupan ruhaniah
tasawuf. Namun kemudian dia jadi kritis terhadap banyak bentuk lahiriah dan
ajaran tasawuf, dan karena kemudian dia memasuki kehidupan Jamaluddin
Al-Afghani yang karismatis itu.
Tahun 1866 Muhammad Abduh menuju Kairo
untuk belajar di Al-Azhar, dan tiga tahun setelah Muhammad Abduh di Al-Azhar,
Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir. Segera saja Muhammad Abduh bergabung
bersamanya. Di bawah bimbingan al-Afghani, Muhammad Abduh mulai memperluas
studinya sampai meliputi filsafat dan ilmu sosial serta politik. Sekelompok
pelajar muda Al-Azhar bergabung bersamanya, termasuk pemimpin Mesir di kemudian
hari, Sa’d Zaghlul. Afghani aktif memberikan dorongan kepada murid-muridnya ini
untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat
Islam sebagai umat yang satu.
Muhammad Abduh menyelesaikan
studinya pada tahun 1877, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Ia
mengajarkan Akhlak karya Ibn Miskawaih, Muqoddimah Ibn
Khaldun, dan sejarah kebudayaan Eropa karya Guizot yang diterjemahkan oleh
Tahthawi ke bahasa Arab.[3]
Pada 11 Juli 1905, pada masa puncaknya aktivitas membina
umat, Muhammad abduh meninggal dunia di Kairo Mesir. Yang menangisi kepergianya
bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka sekian banyak tokoh non
muslim.[4]
Ada dua persoalan pokok yang menjadi
fokus pemikiran muhammad Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri. Kedua persoalan
tersebut adalah :
a. Membebaskan
akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid
yang menghambat pekembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya Salaf
al-Ummah (ulama sebelum abad ketiga hijriyah), sebelum timbulnya
perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, yaitu al-Quran.
b. Memperbaiki
gaya bahasa arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintahan, maupun tulisan-tulisan di media masa, penerjemah atau
korespondensi.[5]
Itulah garis
besar lingkungan dan perjalanan hidup Muhammad Abduh yang mengarahkan
pandanganya kepada persoalan-persoalan agama dan masyarakat.[6]
Studi
Kitab al-Manar Muhammad Abduh
Tafsir
al-Manar yang
bernama Tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai, “kitab
tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan
akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syari’at, serta sunnatullah (hukum
Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Quran sebagai
petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat.[7]
Berikut studi kitab tafsir al-Manar
sabagai kitab tafsir kontemporer yang mencakup latar belakang penulisan, Metodologi
dan corak penafsiran, ciri-ciri, contoh
serta pemikiran Muhammad Abduh mengenai Al-Qur’an dan Tafsir?
1. Latar
Belakang Penulisan kitab Tafsir al-Manar
Dari
beberapa keterangan didalam buku Tafsir al-Manar
menyebutkan bahwa, pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari
gagasan pemikiran dari tiga tokoh pembaharuan dalam Islam. Yaitu Jamaluddin
al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Dan
benih-benih penulisan itu sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaludin
al-Afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru.
Muhammad
Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan Rasyid Ridha
adalah murid paling tekun dan semangat mencatat tafsir dari Muhammad Abduh
tersebut. Maka dapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi
ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini tampak jelas dalam
tafsirya yang diberi nama Tafsir al-Quran al-Hakim, populer dengan nama Tafsir al-Manar, nisbah kepada
majalah al-Manar yang diterbitkanya.[8]
Adapun
mengenai sistematika penulisan dalam tafsir al-Manar adalah penulisan secara susunan mushafi, yaitu dimulai dari surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan al-Nas.
2. Metodologi
dan Corak Penafsiran Muhammad Abduh
Landasan
Muhammad Abduh dalam penafsirannya adalah bagaimana mendapatkan pemahaman
terhadap al-Qur’an dengan mengungkap isi kandungannya, dengan tidak menempuh
metodologi penafsiran yang baku dan kaku dari pemikiran.
Ada beberapa
macam metode dan corak penafsiran Al-Quran. Dr. Abdul-Hay Al-Faramawi, seperti
dikutip oleh M. Quraish Shihab, membagi metode-metode yang dikenal selama ini
menjadi empat: analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topic).
Metode analisis tersebut bermaccam-macam coraknya, salah satunya adalah corak adabi
ijtima’I (budaya kemasyarakatan). Corak ini menitikberatkan penjelasan
ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun
kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi
petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas
yang dibutuhkan.[9]
Tokoh utama dan peletak dasar corak penafsiran ini adalah Muhammad Abduh.
Beberapa prinsip penafsiran yang menjadi kerangka
metodologi Tafsir al-Manar dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Penggunaan akal secara luas dalam menafsirkan
al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh Muhammad Abduh bertitik
tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini,
kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah
keagamaan yang sulit dipahami akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.[10]
b.
Dikalangan Ulama tafsir, Muhammad Abduh dikenal
sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang
bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan).
Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat
dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[11]
Secara umum sebenarnya metode yang
dipakai dalam Tafsir al-Manar
tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan
metode Tahlili.[12]
Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Quran dalam
kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda
dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini
selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi
dan Amin Khuli.[13]
3.
Ciri-ciri Tafsir al-Manar
Dalam
menafsirkan Al-Quran, ada beberapa ciri yang menonjol dan khas yang terungkap
dalam penafsiran Muhammad Abduh:
1.
Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat
yang serasi. Dari pandangan ini, Muhammad Abduh menjalin hubungan yang serasi
antara satu ayat dengan ayat lain, dalam satu surah.
- Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum. Dimana dalam pandangan Muhammad Abduh bahwa petunjuk ayat-ayat Al-Quran berkesinambu-ngan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada orang-orang tertentu.
- Al-Qur’an adalah sumber Aqidah dan Hukum. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menginginkan Al-Quran menjadi sumber sandaran segala madzhab dan pandangan keagamaan; bukannya madzhab tersebut dijadikan sebagai pokok, dan Al-Quran dijadikan pendukung untuk madzhab-madzhab tersebut.
- Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Muhammad Abduh, berdasarkan pandangan dan keyakinannya bahwa wahyu dan akal tidak akan bertentangan, menggunakan akal secara luas untuk memahami (menafsirkan) ayat-ayat Al-Quran.
- Menentang dan memberantas taqlid. Muhammad Abduh berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk membuktikan bahwa Al-Quran memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengetahui hujjah-hujjah yang menjadi landasan pendapat tersebut.
- Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi.
- Sangat kritis terhadap pendapat para Sahabat dan menolak israiliyat.
- Mangaitkan penafsiran Al-Quran dengan kehidupan sosial.
4.
Contoh Tafsir Muhammad Abduh
Dalam
penafsiran Muhammad Abduh mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah
keimanan dan ibadah telah dipecahkannya dalam kitabnya al-Manar dengan
rasionalitas yang memuaskan akal.
a. Aspek Akidah
Menurut
Muhammad Abduh iman kepada Allah bukan dihasilkan dari adanya utusan Allah
Swt., dan juga bukan dari kitab suci, akan tetapi dari akal.[14]
Dalam kaitanya iman kepada Allah yaitu mengesakan Allah Swt., sesungunya Al-Qur’an
telah menegaskan dan menggambarkan, diantaranya dalam surah al-Ikhlas, yaitu
surah menurut al-Zamakhsyari disebut dengan surah
al-asas karna di dalamnya mengandung dasar-dasar agama, yakni tauhid.
Muhammad
Abduh mengawalinya dalam menafsirkan ayat pertama “qul huwallaahu ahad,” ia menjelaskan bahwa dengan kata ‘ahad’ dimaksudkan bahwa Tuhan yang maha
Esa tidak banyak dalam Zat-Nya. Ia tidak tersusun (composite) dari jawhar
(substansi) yang beraneka ragam.[15]
Kemudian dilanjutkan pada ayat kedua “Allah
al-Shamat” dengan menjelasakan bahwa kebutuhan dari semua yang ada tidaklah
tertuju kepada selain Allah, dan setiap yang memiliki kebutuhan tidak boleh
mencari apa yang dibutuhkannya kepada yang selain-Nya. Oleh sebab itu semua
akibat atau hasil berujung kepada-Nya dan semua yang berjalan atau yang terjadi
di alam wujud ini adalah hasil karya-Nya semata. Kemudian pada ayat “lam yalid wa lam yuulad,” lebih
menekankan segi al-tanzih (penyucain) Zat Tuhan dari segala
bentuk penyerupaan makhluk. Dan kemudian berkenaan dengan ayat terakhir “wa lan yakun lahu kufuwan ahaad” untuk
menegaskan atas penolakan dari kaum Musyrikin yang berkeyakinan Tuhan mempunya
rival atau tandingan dalam berbuat atau berkarya.
Dari rangkaian
penafsiran tersebut di atas, satu hal terlihat jelas, Muhammad Abduh, dalam
membicarkan keesaan Allah, telah melakukan rasionalisasi.[16]
b. Aspek
Syariat
Secara umum, terdapat
masalah-masalah yang tidak kalah penting seputar metode penafsiran atas nash al-Qur’ân
yang kemudian menjadi adat kebiasaan pada umumnya, yaitu masalah poligami.[17]Al-Qur’ân
secara jelas membolehkan untuk melakukan poligami dan al-Quran telah menetapkan
hukum dengan membatasi hanya sampai empat isteri. Firman Allah SWT:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès?
Terjemahan:
“Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita wanita lain yang kamu
senangi dua, tiga dan empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil maka kawinilah seorang saja atau budak yang kamu miliki” (QS. al-Nisa:3)
Ketika menganalisis
ayat 3 an Nisa’, Muhammad Abduh melakukan eksplorasi terhadap berbagai
pemikiran ulama tafsir. Bagi Muhammad Abduh, bila diperhatikan pendapat
mayoritas ulama, ayat 3 an-Nisa’ diturunkan oleh Allah setelah terjadinya
perang Uhud ketika banyak pejuang Islam yang gugur di medan perang. Sebagai
konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan
suaminya. lebih lanjut, Muhammad Abduh juga menjadikan pernyataan Aisyah
tentang penjelasan ayat tersebut, seperti dimaklumi, dalam al-Sahiahin, dalam
tafsir Ibnu Jarir disebutkan, bahwa Urwah Ibn al-Zubair pernah bertanya kepada
Aisyah, Umm Al-Mu’minun tentang penjelasan ayat tersebut. Aisyah menjawab bahwa
yang dimaksud al Yatama dalam ayat itu adalah wanita-wanita yatim yang berada
dalam kekuasaan walinya. Wali itulah yang mengatur dan mengelola hartanya. Ia
mengagumi harta dan kecantikannya, sehingga ia hanya ingin mengawininya yang
semata-mata karena tendensi harta dan kecantikannya, tanpa memberikan mahar
sebagaimana mestinya. Inilah yang, menurut Muhammad Abduh dilarang Allah dan
selanjutnya diberikan alternatif untuk mengawini wanita-wanita yang bukan
yatim, mungkin satu, dua, tiga, atau empat, asal sanggup untuk berbuat adil
diantara mereka.
Muhammad Abduh berkata:
“Ayat di
atas menjelaskan tentang jumlah isteri dalam pembahasan anak yatim dan
pelarangan memakan harta mereka. Seandainya kamu khawatir memakan harta mereka
bila mengawininya maka Allah membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai
berjumlah empat, tetapi bila tidak sanggup untuk berlaku adil maka satu saja.”[18]
Hal ini selaras dengan perkataan Ibn
Jarir terkait dengan ayat ini bahwa:
“Ayat diatas adalah larangan menikah lebih dari empat karena
dikhawatirkan akan hilangnya harta anak yatim. Hal ini terjadi pada seseorang
Quraisy yang mengawini perempuan lebih dari sepuluh maka habislah harta tadi
yang digunakan untuk memberi nafkah bagi isteri-isteri yang lain, oleh sebab
itu dilarang cara semacam ini.”
Artinya, ayat ini
diturunkan Allah bukan semata-mata untuk mensyariat-kan poligami. Akan tetapi,
ajaran poligami yang terdapat dalam ayat ini, merupakan salah satu alternatif
untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, khususnya bagi perempuan yatim.
Prinsip keadilan
merupakan tema yang mewarnai penafsiran Muhammad Abduh tentang poligami.
Disamping menganalisis tentang prinsip keadilan dalam surat ayat diatas,
Muhammad Abduh juga memberikan penafsiran yang cukup tajam. Bagi Muhammad
Abduh, ayat ini merupakan peringatan Allah bagi manusia, bahwa mereka nyaris
tidak mampu berbuat adil dalam memperlakukan istri-istrinya. Apalagi, misalnya
perkawinan dengan beberapa orang istri, itu hanya didasarkan pada pemenuhan
birahi, tanpa bermaksud menjaga dan menjalankan aktifitas kehidupan keluarga.
Akibat tindakan kesewenang-wenangan dan ketidak adilan yang dilakukan suami
terhadap istrinya.
Meski Muhammad Abduh menilai bahwa seorang suami akan sangat sulit berlaku adil terhadap istri-istrinya, akan tetapi keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan yang sifatnya lahiriah, bukan batiniah yang bersumber pada peranan hati.
Meski Muhammad Abduh menilai bahwa seorang suami akan sangat sulit berlaku adil terhadap istri-istrinya, akan tetapi keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan yang sifatnya lahiriah, bukan batiniah yang bersumber pada peranan hati.
Untuk itu Izin yang diberikan dalam
ayat tersebut mengenai poligami menurut Muhammad Abduh dibatasi dengan
persyaratan, yaitu apabila sang suami itu memiliki akhlak yang baik, dan secara
ekonomis dia mampu untuk memberi nafkah kepada dua isteri atau lebih secara
adil dalam setiap kondisi, serta mampu menghindarkan dari perilaku yang yang
dapat menyulut perpecahanantara kedua isteri tersebut.[19]
KESIMPULAN
1. Nama lengkap
Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairulah. Ia
dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1849 M.
Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun
demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan
2.
Al-Manar merupakan
karya tafsir modern yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha.
Keduanya merupakan tokoh revolusioner dari Mesir yang ingin menghapus tradisi taqlid buta yang terjadi ketika itu.
Mereka beranggapan bahwa perlu adanya paradigma baru (menggunakan rasionalitas)
untuk memahami suatu pemahaman, sehingga Islam dapat mengejar ketinggalan yang
terjadi ketika itu.
a. Pada mulanya tafsir al-Manar merupakan materi Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya
bernama Muhammad Rasyid Ridha, yang kemudian
Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya itu dijadikan sebuah buku tafsir,
karena sebelumnya tulisannya disebuah majalah tersebar luas dan berpengaruh
terhadap negara-negara Arab. Kemudian semua pengajaran Abduh dicatat oleh
muridnya untuk kemudian dikoreksi
kembali oleh Abduh.
b. Metode yang
digunakan dalam tafsir al-Manar adalah tahlili sebagaimana yang ada pada
metode tahlili dalam tafsir-tafsir terdahulu. Metode analisis tersebut
bermaccam-macam coraknya, salah satunya adalah corak adabi ijtima’I
(budaya kemasyarakatan). Inilah yang dikembangkan Muhammad Abduh dalam tafsrnya
c. Ciri ciri
tafsir Muhammad Abduh ialah
·
Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat
yang serasi.
·
Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
Al
·
Menentang dan memberantas taqlid.
·
Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi.
·
Sangat kritis terhadap pendapat para Sahabat dan menolak
israiliyat
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Samudera Al-Qur’an, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2001
Al-Qattan, Manna Khallil, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Quran Bogor:PT Pustaka Litera Antar Nusa
Baidan, Nashruddin, Rekonstruksi Ilmu
Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000
Faiz,Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta:
Qalam, 2002
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik
hingga Modern Yogyakarta: Elsaq, 2006
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Cet. IX;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Nawawi, Rifa’at Syauki,
Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh;
Kajian Masalah Akidah dan Ibadah Cet. I; Jakarta Selatan:Paramadina, 2002
Shihab, Quraish, Studi
Kritis Tafsir al-Manar, Bandung : Pustaka Hidayah, 1994
Dari Internet
http://aatshoem.blogspot.com/2014/01,
Mengenal Tafsir al-Qur’an al-Manar. Html,.
Diakses pada tanggal 20/04/16.
Kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html
di akses 24/04/16 Jam 22:00
[1]Ibid,. h.11
[2]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 59
[4]Quraish
Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar., (Bandung
: Pustaka Hidayah, 1994), h. 17
[5]Ibid.,
h. 19
[6]Ibid.,
h. 18
[7]Quraish
Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar.
Op.cit., h. 67
[8]Manna
Khallil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (Bogor:PT Pustaka Litera
Antar Nusa), h. 511-512
[9] Rifa’at Syauki Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian
Masalah Akidah dan Ibadah (Cet. I; Jakarta Selatan:Paramadina, 2002), h.
111
[10]Rosihan
Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm.
260.
[11]Ibid.,
h. 260.
[12]Prof.
Dr. Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Jakarta: PT
Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 69.
[13]Fachruddin
Faiz, Hermeneutika Qur’an,( Yogyakarta: Qalam, 2002), h. 71
[14]
Rifa’at Syauki
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad
Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadah., op.cit., 116
[15]
Dalam pengertian
umum, term jawhar berarti segala
sesuatu yang mauwjud (exsist) dalam
realita.
[16] Secara umum rasionalisasi
berarti, memberikan penjelasan supaya sesuai dengan akal-budi atau agar
diterima oleh akal. pada lazimnya juga dimaksudkan supaya yang diberikan itu
terasa rasional.
[17]Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Aliran Klasik hingga
Modern (Yogyakarta: Elsaq, 2006), h. 44
[18]
http://aatshoem.blogspot.com/2014/01, Mengenal Tafsir al-Qur’an al-Manar. Html,. Diakses pada tanggal
20/04/16.
[19]Kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html
di akses 24/04/16 Jam 22:00